Selamat Datang Di Remanda'S Community

BENTENG PASSO - AMBON

BENTENG PASSO - AMBON
(Foto: Amanda'S)

Minggu, 11 November 2012

Formula Arah Dan Indeks Pertumbuhan Telur Dan Larva Geohelminths di 7 Jenis Tanah Perdesaan Pulau Ambon Oleh: Salakory Melianus* (*Geografi FKIP Unpatti Ambon: Medical Geography) ABSTRAK Tujuan yang ingin dicapai adalah; untuk menemukan formula arah dan indeks pertumbuhan telur dan larva Geohelminths di 7 jenis tanah perdesaan Pulau Ambon. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Experimental di laboratorium (kultur invitro). Hasil penelitian adalah: diperoleh 6 (enam) formula dinamika pertumbuhan; ++ Pertumbuhan pada tahap tahap awal lebih cepat dan mencapai tahap embrio dalam kurun waktu lebih cepat. + Pertumbuhan Normal dan berlangsung dalam setiap tahap dengan kurun waktu yang relatif sama (hampir tidak ada perbedaan waktu yang besar). +-Pertumbuhan pada tahap tahap awal lebih cepat, kemudian mengalami pengunduran perkembangan pada tahap tahap kemudian (membutuhkan waktu lama). -- Pertumbuhan berlangsung pada tahap-tahap awal lebih lama dari keadaan normal, tidak mencapai mencapai tahap embrio, membutuhkan waktu yang relatif lama, terjadi degradasi struktur telur. - Pertumbuhan dalam setiap tahap berlangsung agak lama dan masih berada di bawah pertumbuhan normal. -+Pertumbuhan pada tahap tahap awal lebih lama, kemudian normal bahkan agak cepat pada tahap tahap kemudian (membutuhkan waktu sedikit untuk mencapai tahap berikutnya). Ditemukan juga 63 formula Indeks Pertumbuhan untuk tiap jenis telur dan larva Geohelminths menurut media cawan petrinya. Kesimpulan: Telah dihasilkan 63 formula indeks dan 6 formula arah pertumbuhan telur dan larva Geohelminths di 7 jenis tanah perdesaan Pulau Ambon. Indeks dan arah pertumbuhan A. Lumbricoides berbeda dengan T. trichiura, dan cacing kait sesuai jenis tanah dan kondisi kebasahan tanah (basah, kering, lembab). Oleh sebab itu dianjurkan kepada para peneliti terutama dengan bidang kajian Tropical Medicine dan Parasitologi Kedokteran, untuk dilakukan penelitian lanjutan di lapangan dengan memasukkan variabel-variabel lain yang belum diujikan, maupun dengan metode penelitian dan teknik analisis yang lain. Key Words: arah, indeks pertumbuhan, Geohelminths PENDAHULUAN Salah satu penyakit parasitik di Indonesia yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat adalah infeksi dengan Geohelminths terutama di daerah tropik negara-negara berkembang khususnya pada masyarakat dengan keadaan sosial ekonomi rendah di perdesaan. Daur hidup Geohelminths dipengaruhi oleh faktor inang (manusia), faktor agen (cacing), dan faktor lingkungan. Faktor inang, yang berperan adalah kebiasaan dari masyarakat baik secara langsung mau pun tidak langsung. Faktor lingkungan, merupakan kondisi ekoepidemiologi yang dibutuhkan bagi proses pematangan telur cacing menjadi telur yang infektif atau menjadi larva. Apabila kondisi ini terpenuhi, maka telur-telur cacing akan cepat matang dan siap menginfeksi manusia. Faktor agen (cacingnya), yang terpenting adalah daya tahan cacing atau telur dan larva terhadap kondisi yang kurang baik bagi kelangsungan hidupnya. Pematangan telur Geohelminths di tanah membutuhkan kondisi lingkungan fisik tertentu. Telur A. lumbricoides misalnya, lebih cepat matang pada kondisi tekstur tanah dengan kandungan pasir lebih banyak. Telur A. lumbricoides juga tahan terhadap suhu udara yang tinggi walau akan mati dalam 1 jam pada suhu udara 45oC. Ogata (1924 a & b) dalam Morishita (1972), menyebutkan bahwa pertumbuhan normal telur A. lumbricoides sampai mencapai larva pada suhu 15oC – 34oC walau pun kecepatan perkembangannya beragam dalam inkubator. Telur dan larva cacing kait cepat matang pada kondisi tekstur lepas dengan campuran humus, dan kondisi porositas serta kandungan air tanah yang tinggi. Telah dilakukan penelitian pendahuluan di Laboratorium Parasitologi Universitas Gadjah Mada dengan menggunakan metode kultur invitro terhadap telur cacing kait yang berasal dari tinja anjing dan ditanam pada tanah berpasir serta dalam kondisi basah (diberikan campuran aquades sampai tanah menjadi basah betul), serta diletakkan pada inkubator dengan suhu kamar (25oC). Hasilnya menunjukkan bahwa pada pengamatan awal sebelum ditanam terlihat telur dengan 4 sel, 6 sel dan 8 sel dengan bentuk lonjong, dinding tipis bening satu lapis. Setelah ditanam pada cawan petri, di hari pertama pengamatan terlihat sebagian besar telur mengalami perubahan ke stadium morula (menunjukkan bentuk larva). Hari kedua pengamatan terlihat perubahan ke arah bentuk larva makin jelas. Hari ke tiga, tidak ditemukan lagi perubahan ke arah pertumbuhan larva bahkan terlihat fisik telur cenderung mengerut dan inti di dalamnya berkerut atau mengecil dari hari ke dua. Setelah diperiksa kondisi fisik media tanah dalam cawan petri terlihat tanah dalam kondisi kering walau keadaan suhu tetap. Atas dasar itu, maka kemudian dari 8 cawan petri yang ada, 3 cawan petri kemudian diberikan tambahan air sedangkan sisanya tidak. Pada pemeriksaan hari keempat, terlihat perubahan ke arah perkembangan inti telur yang berasal dari cawan petri yang diberikan tambahan air, sedangkan pada cawan petri yang tidak diberikan tambahan air sudah tidak ditemukan lagi telur cacing kait. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa telur cacing kait akan cepat matang dan berubah menjadi larva pada kondisi tanah yang basah atau lembab. Apabila suasana atau kondisi ini terpenuhi untuk proses pematangan telur-telur, maka dapat dikatakan bahwa daerah tersebut merupakan daerah endemis infeksi cacing yang penularannya melalui tanah. Di wilayah pulau Ambon, data tentang Geohelminths yang diperoleh dari laporan bulanan Puskesmas sejak tahun 2004, 2005, dan sampai Juli 2006 menunjukkan angka yang bervariasi. Terlihat bahwa ada daerah dengan prevalensi tinggi, ada daerah dengan prevalensi rendah, ada pula daerah dengan prevalensi di antara keduanya. Daerah dengan kondisi geografis tertentu memiliki prevalensi tinggi untuk jenis infeksi cacing tertentu, atau pun sebaliknya. Dari peta tanah yang dihasilkan oleh Fakultas Pertanian Universitas Pattimura (Tahun 1989), Lasaiba (2006), diketahui bahwa di Pulau Ambon terdapat 7 jenis tanah dengan sebaran yang berbeda. Apakah ada hubungan antara prevalensi Geohelminths yang berbeda-beda itu dengan 7 jenis tanah dan sebaran yang berbeda tersebut?. Melalui suatu penelitian Experimen di Laboratorium (kultur invitro) diharapkan kejadian infeksi Geohelminths yang bervariasi ini dapat dijelaskan dengan terlebih dahulu mengetahui bagaimana formula arah dan indeks pertumbuhan telur dan larva Geohelminths di 7 jenis tanah perdesaan Pulau Ambon? Penelitian ini didasari oleh ogata (1923 b), menurut Morishita (1972) yang melakukan pemaparan terhadap telur A. lumbricoides untuk melihat resistensi telur terhadap beberapa agen fisik. Dikatakan bahwa resistensi telur A. lumbricoides adalah kemampuan untuk bertahan atau kelangsungan hidup telur-telur terhadap pemaparan saat eksperimen mau pun pada kondisi yang sebenarnya di alam pada suatu agen dengan kondisi-kondisi tetap. Dikatakan selanjutnya bahwa kriteria untuk telur-telur yang mati atau yang hidup berdasarkan kriteria morfologi adalah; a) vakuolasi dalam sitoplasma sel-sel telur (terutama berkaitan dengan degenerasi lemak), b) sitolisis, c) penyusutan dari sel-sel telur, d) pembungkus atau bagian permukaan dari sel telur. Telur A. lumbricoides, menurut Morishita (1972), selain resisten pada beberapa agen fisik seperti; temperatur, kekeringan, cahaya, sinar-sinar radio aktif, juga resisten pada agen kimia. Observasi yang lebih detail pada telur-telur diperlakukan dengan beragam bahan kimiawi oleh Yanasigawa (1955) dalam Morishita (1972). Dikemukakan tentang kriteria untuk telur-telur yang mati atau yang hidup dengan memperlihatkan bentuk abnormal telur yang secara morfologis diklasifikasikan sebagai berikut: 1)Perubahan dalam tahap satu sel adalah granulasi, penyusutan, mallokasi, pembentukan gelembung yang kecil atau besar, hyalinasi sitoplasmik, deformasi dan disintegrasi, tiga perubahan pertama yang terjadi menandakan rusak parah. 2)Perubahan dalam tahap perkembangan secara garis besar terbagi dalam dua bagian, yang pertama adalah embrio yang terpisah secara tidak normal yang merupakan karakteristik dari kehadiran blasmer-blasmer dengan ukuran tak seimbang di tahap awal dan embrio yang pecah di tahap akhir, dan yang lainnya adalah bentuk yang beragam sebagaimana terlihat dalam tahap satu sel, yang kelihatan dalam tiap blasmer atau dalam embrio. Bentuk ini diamati terjadi dalam telur-telur yang kelihatan pada beragam bahan kimia dan secara memuaskan digunakan untuk pengungkapan telur-telur yang rusak. Dinyatakan dalam Morishita (1972), secara umum perkembangan normal dari telur A. lumbricoides terjadi pada suhu yang berkisar antara 15o – 34oC hingga mencapai tahap larva, walaupun kecepatan perkembangannya beragam dengan suhu dimana telur-telur tersebut terinkubasi. Menurut Ogata (1923) dalam Morishita (1972), yang melakukan uji viabilitas telur dengan didedah pada air panas dalam beragam suhu untuk beragam periode waktu, dilaporkan bahwa semua yang terdedah pada suhu lebih rendah dari 45° C selama satu jam memperoleh kemampuan mereka untuk berkembang sampai tahap larval. Mereka yang terdedah pada suhu 50°C selama 5 menit dan beberapa di antaranya pada suhu 50°C selama 30 menit memperoleh kembali viabilitasnya, namun tidak ada perkembangan yang terjadi pada suhu 50°C selama 45 menit. Pembentukan larva teramati dalam suhu 55°C sampai 20 detik. Mayoritas dari telur yang berada pada suhu 65°C selama satu detik dan pada suhu 60°C selama 5 detik atau lebih ditemukan kehilangan viabilitasnya. Waktu minimum yang dipersyaratkan untuk pembunuhan semua telur didedah pada suhu yang beragam seperti 50°C, 55°C, 60°C, dan 70°C yaitu selama periode waktu 45 menit, 50 detik, 5 detik dan satu detik. Pengaruh sinar ultraviolet terhadap viabilitas telur A. lumbricoides pertama-tama diinvestigasi oleh Sasaki (1927), sebagaimana dikemukakan oleh Morishita (1972). Telur pada kultur diiradiasi dengan lampu sinar matahari artifisial yang ditempatkan pada jarak 20 cm dari telur. Waktu yang dipersyaratkan untuk mencapai tahap larval meningkat dengan meningkatnya periode iradiasi. Iradiasi selama sepuluh menit atau lebih sekali dalam sehari menghasilkan suatu inhibisi dari perkembangan telur. Mayoritas telur yang diiradiasi selama 30 menit atau lebih per hari ditemukan tetap pada tahap yang lebih awal daripada tahap larval dengan pengujian pada kultur hari keduapuluh, namun sedikit diantara mereka yang ditemukan mencapai tahap larva. Kelompok Skor Pretes Perlakuan Skor Tes Total Kelompok Perlakuan O1.a X1.a O2.a . . . . ..Ok TIk O1.b X1.b O2.b . . . . ..Ok TIk O1.c X1.c O2.c . . . . ..Ok TIk . . . . . . . ... . . . . . . . . ... . . . . . . . . ... . Ok Xk.i Ok . . . . ..Ok TIk Keterangan: Pengaruh Perlakuan: 1.Arah Pertumbuhan = O2.a – O1.a 2.Indeks Pertumbuhan = Besar Kecil Nilai Total Indeks (TI) Tanah I.a : Jenis Aluvial dikondisikan kering, dikultur dengan telur GH Tanah.I.b : Jenis Aluvial dikondisikan basah, dikultur dengan telur GH Tanah I.c : Jenis Aluvial dikondisikan lembab, dikultur dengan telur GH Tanah II.a : Jenis Brunisem dikondisikan kering, dikultur dengan telur GH Tanah.II.b : Jenis Brunisem dikondisikan basah, dikultur dengan telur GH Tanah II.c : Jenis Brunisem dikondisikan lembab, dikultur dengan telur GH Tanah III.a : Jenis Gleisol dikondisikan kering, dikultur dengan telur GH Tanah.III.b : Jenis Gleisol dikondisikan basah, dikultur dengan telur GH Tanah III.c : Jenis Gleisol dikondisikan lembab, dikultur dengan telur GH Tanah IV.a : Jenis Kambisol dikondisikan kering, dikultur dengan telur GH Tanah.IV.b : Jenis Kambisol dikondisikan basah, dikultur dengan telur GH Tanah IV.c : Jenis Kambisol dikondisikan lembab, dikultur dengan telur GH Tanah V.a : Jenis Litosol dikondisikan kering, dikultur dengan telur GH Tanah.V.b : Jenis Litosol dikondisikan basah, dikultur dengan telur GH Tanah V.c : Jenis Litosol dikondisikan lembab, dikultur dengan telur GH Tanah VI.a : Jenis Podsolik dikondisikan kering, dikultur dengan telur GH Tanah.VI.b : Jenis Podsolik dikondisikan basah, dikultur dengan telur GH Tanah VI.c : Jenis Podsolik dikondisikan lembab, dikultur dengan telur GH Tanah VII.a : Jenis Rensina dikondisikan kering, dikultur dengan telur GH Tanah.VII.b : Jenis Rensina dikondisikan basah, dikultur dengan telur GH Tanah VII.c : Jenis Rensina dikondisikan lembab, dikultur dengan telur GH Gambar 1.Skema Penelitian Experimental di laboratorium dengan Rancangan Time Series Desain Kelompok Eksperimen Sumber: Didesain oleh peneliti dengan modifikasi dari Pratiknya (1986); Bhisma (1997), Tahun 2009 Untuk memperoleh media tanah sesuai jenis tanah yang ada di perdesaan Pulau Ambon, dengan berpatokan pada Peta Tanah Pulau Ambon Skala 1: 50.000 yang dihasilkan oleh Fakultas Pertanian Unpatti (1985), Lasaiba (2006) untuk Kota Ambon, dan citra Landsat TM 30 tentang pulau Ambon. Dipilih 7 unit lahan (cluster) yang mewakili unit lahan Aluvial dengan penggunaan lahan permukiman, Rensina, Gleisol, Kambisol, Brunisem, dan Podsolik. Dari tiap unit lahan kemudian dibuat garis secara diagonal mengikuti pola permukiman. Pada garis tersebut, ditentukan 2 buah titik untuk diambil tanahnya untuk dipergunakan sebagai media kultur sebanyak 5Kg tiap jenis tanah (dari salah satu titik sampel tanah), dengan kedalaman rata-rata 5Cm. Untuk mengetahui dinamika pertumbuhan telur dan larva di tanah, dilakukan pengamatan setiap hari sebanyak 63 cawan petri yang berisikan telur dan larva Geohelminths (3 jenis) dari 7 jenis tanah dalam 3 kondisi (basah, kering, lembab) yang di kultur invitro. Untuk keperluan pengamatan ini akan dibuat foto, menggunakan camera digital dari hasil pengamatan pada mikroskop dengan pembesaran 40. Pengataman terhadap struktur dan tekstur telur Geohelminths dilakukan berbasarkan kriteria degeneratip telur yang dikemukakan oleh Morishita (1972). Pemeriksaan dilakukan secara kualitatif. Alat-alat dan bahan yang diperlukan: 1 Lidi 2 Sendok teh 3 Gelas beaker 30 ml 4 Tabung Reaksi 5 Gelas benda 6 Gelas penutup 7 Larutan MgSO4 Cara Kerja: 1.Tanah diambil (dari sampel tanah) dengan ukuran kira-kira 1 sendok teh , lalu masukan dalam gelas beaker 2.Tanah tersebut kemudian dilarutkan dengan larutan MgSO4 sedikit demi sedikit sampai homogen. 3.Larutan dituang ke dalam tabung reaksi yang sudah disiapkan di rak, sampai tinggi cairan memenuhi permukaan tabung. 4.Gelas penutup diletakkan di atas permukaan cairan (gelas penutup menempel di atas permukaan, jaga jangan sampai cairan tumpah). 5.Didiamkan selama 30 – 45 menit. 6.Gelas benda disiapkan dan berikan 1 tetes larutan Lugol di atasnya. 7.Gelas penutup diambil dengan pinset, kemudian diletakkan di atas gelas benda (secara hati-hati sehingga tidak terdapat gelembung udara). 8.Diperiksa dengan mikroskop pada pembesaran lemah 10 X (Lawrence, 1991). Untuk menampilkan data-data hasil pengukuran variabel dinamika perkembangan telur yang dibuahi dan larva Geohelminths infektif di tanah, dilakukan secara deskriptif. HASIL Kultur invitro yang dilakukan, dimaksudkan untuk memperoleh suatu formula tentang dinamika pertumbuhan telur fertil menjadi telur infektif dan larva untuk jenis Cacing kait. Pertumbuhan telur Geohelminths sesuai hasil kultur invitro dapat dilihat pada tampilan gambar 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9. Hasil penelitian eksperimental melalui kultur invitro yang dimaksudkan untuk memperoleh suatu formula tentang dinamika pertumbuhan telur fertil menjadi telur infektif dan larva untuk jenis Cacing kait, memberikan hasil sebagaimana tergambar pada tabel 1 dan tabel 2 tentang arah dan indeks pertumbuhannya. Dari tabel 1, terlihat bahwa semakin tinggi nilai TI (total indeks) makin baik pertumbuhan telur dan larva Geohelminths. Makin sedikit atau kecilnya nilai pada kolom tahap pertumbuhan mengindikasikan pertumbuhan makin baik, kecuali pada kolom terakhir nilai yang besar mengindikasikan pertumbuhan baik. Cawan petri dengan tanah Aluvial yang dalam kondisi kering A. lumbricoides mengalami pertumbuhan paling cepat pada fase 1 sel (tahap 1) dan yang paling lama Tabel 1. Deskripsi Pertumbuhan Telur dan Larva Geohelminths Sesuai Media Tanah berada pada fase morula akhir (tahap 3). Telur T. trichiura mengalami pertumbuhan paling cepat pada fase 1 sel (tahap 1) dan yang paling lama berada pada fase 2 sel (tahap 2), tetapi cukup cepat mencapai tahap larva (tahap 4). Telur Cacing kait mengalami masa pertumbuhan paling cepat pada fase 6 - 8 sel (tahap 1), dan kemudian juga lebih cepat mencapai tahap larva (tahap 4) Rabditiform maupun Filariform. Tanah Aluvial dalam kondisi basah A. lumbricoides mengalami pertumbuhan paling cepat pada fase 1 sel (tahap 1) dan paling lama berada pada fase morula akhir (tahap 3), tetapi kemudian lebih cepat mengalami tahap embrio (tahap 4) bahkan kemudian bertahan dalam kondisi stabil pada fase tersebut. Telur T. trichiura mengalami pertumbuhan paling cepat pada fase 1 sel (tahap 1) dan yang paling lama berada pada fase pembelahan lanjut (tahap 3), tetapi cukup cepat mencapai tahap larva (tahap 4). Telur Cacing kait mengalami masa pertumbuhan paling cepat pada fase 6 - 8 sel (tahap 1), dan kemudian juga lebih cepat mencapai tahap larva Rabditiform maupun Filariform (tahap 4). Tanah Aluvial dalam kondisi basah A. lumbricoides mengalami pertumbuhan paling cepat pada fase 1 sel (tahap 1) dan yang paling lama berada pada fase morula akhir (tahap 3), tetapi kemudian lebih cepat mengalami tahap embrio (tahap 4) bahkan kemudian bertahan dalam kondisi stabil pada fase tersebut. Telur T. trichiura mengalami pertumbuhan paling cepat pada fase 1 sel (tahap 1) dan yang paling lama berada pada fase pembelahan lanjut (tahap 3), tetapi cukup cepat mencapai tahap larva (tahap 4). Telur Cacing kait mengalami masa pertumbuhan paling cepat pada fase 6 - 8 sel (tahap 1), dan kemudian juga lebih cepat mencapai tahap larva Rabditiform maupun Filariform (tahap 4). Tanah Aluvial dalam kondisi lembab A. lumbricoides mengalami pertumbuhan paling cepat pada fase 1 sel (tahap 1) dan yang paling lama berada pada fase morula akhir (tahap 3), tetapi kemudian lebih cepat mengalami tahap embrio (tahap 4) bahkan kemudian bertahan dalam kondisi stabil pada fase tersebut. Telur T. trichiura mengalami pertumbuhan paling cepat pada fase 1 sel (tahap 1) dan yang paling lama berada pada fase pembelahan lanjut (tahap 3), tetapi cukup cepat mencapai tahap larva (tahap 4). Telur Cacing kait mengalami masa pertumbuhan paling cepat pada fase 6 - 8 sel (tahap 1), dan kemudian juga lebih cepat mencapai tahap larva (tahap 4) Rabditiform maupun Filariform. Tanah Brunisem dalam kondisi kering, A. lumbricoides mengalami pertumbuhan paling lama pada fase morula awal (tahap 2) dan lebih cepat pada fase morula akhir (tahap 3), tetapi kemudian mengalami degradasi setelah hari ke 18. Telur T. trichiura mengalami pertumbuhan paling lama pada fase 2 sel (tahap 2) cepat pada fase 1 sel (tahap 1) dan yang paling lama berada pada fase 2 sel (tahap 2), tetapi kemudian mengalami degradasi setelah hari ke 18. Telur Cacing kait mengalami masa pertumbuhan paling cepat pada fase 6-8 sel (tahap 1), mengalami pertumbuhan normal pada fase morula (tahap 2) dan larva Rabditiform (tahap 3) dan mencapai fase Filariform (tahap 4) setelah hari ke 11. Tanah Brunisem yang dalam kondisi basah A. lumbricoides mengalami pertumbuhan paling cepat pada fase 1 sel (tahap 1) dan yang paling lama berada pada fase morula awal (tahap 2), tetapi kemudian lebih cepat mengalami tahap embrio (tahap 4). Telur T. trichiura mengalami pertumbuhan paling cepat pada fase 1 sel (tahap 1) dan yang paling lama berada pada fase 2 sel (tahap 2), kemudian mengalami degradasi setelah fase pembelahan lanjut (tahap 3) setelah hari ke-39. Telur Cacing kait mengalami masa pertumbuhan paling cepat pada fase 6 - 8 sel (tahap 1), kemudian mengalami pertumbuhan lama pada fase morula (tahap 2), dan lebih cepat mencapai tahap larva Rabditiform (tahap 3) maupun Filariform (tahap 4). Tanah Brunisem dalam kondisi lembab, A. lumbricoides mengalami pertumbuhan paling cepat pada fase 1 sel (tahap 1) dan pertumbuhan normal pada fase morula awal (tahap 2) dan morula akhir (tahap 3) kemudian mencapai fase embrio (tahap 4) setelah hari ke-29. Telur T. trichiura mengalami pertumbuhan rata-rata lambat pada setiap fase, kemudian mengalami degradasi setelah mencapai fase pembelahan lanjut (tahap 3) di hari ke-22. Telur Cacing kait mengalami masa pertumbuhan paling cepat pada fase 6-8 sel (tahap 1), kemudian mengalami pertumbuhan lama pada fase morula (tahap 2), dan lebih cepat mencapai tahap larva Rabditiform (tahap 3) maupun Filariform (tahap 4). Media cawan petri dengan tanah Gleisol dalam kondisi kering, A. lumbricoides mengalami pertumbuhan paling cepat pada fase 1 sel (tahap 1) dan lebih normal pada fase morula awal (tahap 2) dan morula akhir (tahap 3) dan kemudian mengalami fase embrio (tahap 4) setelah hari ke-33 dan bahkan bertahan pada cawan petri tersebut. Telur T. trichiura mengalami pertumbuhan paling lama pada fase 1 sel (tahap 1) mencapai fase pembelahan lanjut (tahap 3), tetapi kemudian mengalami degradasi setelah hari ke-15. Telur Cacing kait mengalami masa pertumbuhan lama pada fase morula (tahap 2) dan fase larva Rabditiform (tahap 3), kemudian mencapai fase Filariform (tahap 4) setelah hari ke 17. Tanah Gleisol yang dalam kondisi basah, A. lumbricoides mengalami pertumbuhan paling cepat pada fase 1 sel (tahap 1) dan mengalami pertumbuhan normal pada fase morula awal (tahap 2) dan morula akhir (tahap 3), kemudian mengalami fase embrio (tahap 4) setelah hari ke-39. Telur T. trichiura mengalami pertumbuhan paling lama pada fase 2 sel (tahap 2), mencapai fase pembelahan lanjut (tahap 3) dan bertahan cukup lama pada fase tersebut, kemudian mengalami degradasi setelah hari ke-45. Telur Cacing kait mengalami masa pertumbuhan lama pada fase morula (tahap 2) dan fase larva Rabditiform (tahap 3), kemudian mencapai fase Filariform (tahap 4) setelah hari ke 20. Tanah Gleisol yang dalam kondisi lembab, A. lumbricoides mengalami pertumbuhan paling cepat pada fase 1 sel (tahap 1) dan mengalami pertumbuhan lambat pada fase morula akhir (tahap 3), kemudian mengalami degradasi setelah hari ke-44. Telur T. trichiura mengalami pertumbuhan lambat pada fase 2 sel (tahap 2), kemudian mengalami pertumbuhan cukup cepat pada fase pembelahan lanjut (tahap 3), dan pada akhirnya masuk ke fase embrio (tahap 4) setelah hari ke-33 dan bertahan cukup lama pada fase tersebut. Telur Cacing kait mengalami masa pertumbuhan lama pada fase morula (tahap 2) dan fase larva Rabditiform (tahap 3), kemudian mencapai fase Filariform (tahap 4) setelah hari ke-20. Dari tabel 1 terlihat bahwa A. lumbricoides mengalami pertumbuhan untuk mencapai tahap embrio (tahap 4) lebih cepat (++) pada media tanah Aluvial lembab dengan persentase TI (Indeks Pertumbuhan Maksimum/ IPT x 100) sebesar 77,78%, Aluvial basah 74,30%, dan Gleisol kering 70,14%. A. lumbricoides mengalami pertumbuhan normal (+), pada Rensina kering 75.69%, Rensina basah 74,30%, Rensina lembab 71,53%, Brunisem lembab 68,05%, Aluvial kering 59,02%, dan Gleisol basah 66,67%. A. lumbricoides mengalami pertumbuhan pada tahap-tahap awal lebih lama dari keadaan normal, tidak mencapai tahap embrio, membutuhkan waktu yang relatif lama, terjadi degradasi struktur telur (-- ), pada media tanah Brunisem kering 18.05%, Kambisol kering dan Litosol kering 11,80%, Podsolik kering, Podsolik basah dan Podsolik lembab 2,08%. A. lumbricoides mengalami pertumbuhan di awal-awal normal kemudian melambat (+-), pada media tanah Kambisol basah 69,44%, Kambisol lembab dan Litosol basah 68,05%, Litosol lembab 66,66%. A. lumbricoides mengalami pertumbuhan pada tahap tahap awal lebih lama, kemudian normal bahkan agak cepat pada tahap tahap kemudian (-+) pada media tanah Brunisem basah 60,42%. Hasil yang dicapai dalam proses pertumbuhan telur A. lumbricoides ini sejalan dengan Bundy and Cooper (1989) yang menemukan bahwa Telur A. lumbricoides, tahan terhadap suhu yang ekstrim dibanding T. trichiura, dan Cacing kait, tetapi hasil penelitian justru T. trichiura yang lebih bertahan dalam kondisi kering dibandingkan A. lumbricoides. Distribusi pertumbuhan telur A. lumbricoides (indeks pertumbuhan) pada satuan lahan Pulau Ambon dapat dilihat pada gambar 38 (Lampiran). T. trichiura mengalami pertumbuhan untuk mencapai tahap embrio (tahap 4) lebih cepat (++) pada media tanah Aluvial basah 78,47%, dan Aluvial lembab 70,08%. T. trichiura mengalami pertumbuhan normal pada Podsolik lembab dan Rensina lembab 63,89%. T. trichiura mengalami pertumbuhan pada tahap-tahap awal lebih lama dari keadaan normal, tidak mencapai tahap embrio, membutuhkan waktu relatif lama, serta terjadi degradasi struktur telur (--), pada media tanah Brunisem lembab 28,47%, Litosol basah, Rensina basah 24,30%, Brunisem kering 18,05%, Rensina kering 18,75%, Gleisol kering 15,97, Kambisol kering 13,19%, Litosol kering 5,55%, Kambisol basah, Kambisol lembab 0%. T. trichiura mengalami pertumbuhan dalam setiap tahap berlangsung agak lama berada di bawah pertumbuhan normal (-) pada media tanah Gleisol basah 50,69%, Brunisem basah 40,97%, Litosol lembab 38,89%, Podsolik kering 25,69%. T. trichiura mengalami pertumbuhan di awal-awal normal kemudian melambat (+-) pada media tanah Podsolik basah 62,5%. T. trichiura mengalami pertumbuhan pada tahap tahap awal lebih lama, kemudian normal bahkan agak cepat pada tahap tahap kemudian (-+), pada media tanah Gleisol lembab 63,19%. Distribusi pertumbuhan telur T. trichiura (indeks pertumbuhan) pada satuan lahan Pulau Ambon dapat dilihat pada gambar 39 (Lampiran). Cacing kait mengalami pertumbuhan untuk mencapai tahap larva Rabditiform maupun filariform (tahap 4) lebih cepat (++) pada media tanah Litosol lembab 57,64%, Kambisol kering 32,64%, Aluvial kering, Aluvial basah, Aluvial lembab, Kambisol basah, 29,17%. Cacing kait mengalami pertumbuhan normal (+) pada media tanah 20,14%. Cacing kait mengalami pertumbuhan pada tahap-tahap awal lebih lama dari keadaan normal, tidak mencapai tahap embrio, membutuhkan waktu yang relatif lama, serta terjadi degradasi struktur telur (--), pada media tanah Kambisol lembab 40,97%, Rensina basah, Rensina lembab 24,30%, Podsolik basah 17,36%, Podsolik kering 11,80%, Podsolik lembab 8,33%, Rensina kering 6,25%, Litosol kering 3,47%. Cacing kait. mengalami pertumbuhan pada tahap tahap awal lebih lama, kemudian normal bahkan agak cepat pada tahap tahap kemudian (-+), pada media tanah Gleisol lembab 35,42%, Gleisol kering 32,64%, Gleisol basah 31,25%, Brunisem basah, Brunisem lembab 21,53%, dan Litosol basah 18,75%. Larva Cacing kait ditemukan berasal dari spesies Necator americanus (lihat gambar 10) Gambar 10: Larva Necator americanus Pada Kultur Hari Ke-5 Sumber: Hasil Kultur Invitro, Tahun 2009 Dari tabel 1 disusun 63 formula Indeks Pertumbuhan untuk tiap jenis telur dan larva Geohelminths menurut media cawan petrinya sebagaimana terlihat pada tabel 2. PEMBAHASAN Dari hasil kultur tersebut, terungkap bahwa ada resistensi telur Geohelminths. Resistensi tersebut berupa suatu kemampuan untuk bertahan atau viabilitas telur-telur yang diperlihatkan selama eksperimental pada suatu agen dengan kondisi-kondisi tetap. Menurut Ogata (1923b), dapat dipergunakan 3 kriteria bagi telur-telur yang mati ataupun yang hidup yaitu kriteria melalui metode kultur, kriteria morfologis, dan kriteria dengan penodaan. Dalam penelitian ini digunakan kriteria melalui metode kultur. Disebutkan oleh Inatomi dalam Morishita (1972) bahwa kriteria dengan metode kultur memiliki reliabilitas yang tinggi. Dalam metode ini telur A. lumbricoides ditempatkan dalam agen tanah dengan kondisi jenis tanah yang berbeda dan dalam keadaan kering, lembab, basah, dan pada suhu 25oC (suhu kamar). Setelah suatu periode tertentu perkembangan telur-telur Geohelminths tersebut diperiksa untuk melihat pertumbuhan atau perubahan morfologi telur dan larva pada tiap tahap pertumbuhan dalam media cawan petri. Fushumi dalam Morishita (1972), yang menyelidiki kembali kerja Brown, mengemukakan suatu formula tentang indeks pertumbuhan dari telur A. lumbricoides. Ia membaginya atas enam bagian berdasarkan tahap pertumbuhan mereka yaitu tahap satu sel, tahap morula awal, tahap morula akhir, tahap tadpole, tahap embrio mortil, dan telur yang terdegenerasi, dengan tiap tahap tersebut secara komparatif diberi nilai 0, 1, 2, 3, 4, dan 5 yang disebut sebagai angka indeks. Pertumbuhan telur dan larva Cacing kait ditemukan berhenti berkembang pada suhu 41oC (Undosi and Atata, 1987; Smith and Schad, 1989, dalam Brooker, 2006). Ogata (1923b) dalam Morishita (1972), mengemukakan bahwa perubahan morfologi yang kelihatan dalam telur yang mati adalah (1) vakuolasi dalam sitoplasma sel-sel telur (terutama berkaitan dengan degenerasi lemak), (2) sitolisis, (3) penyusutan dari sel telur, dan (4) kerusakan pada bagian permukaan dari sel telur atau jubah protein. Ogata juga mencatat okurensi telur-telur mati tanpa perubahan morfologis yang bisa dicatat. Bentuk abnormal yang kelihatan dalam telur ini secara morfologis diklasifikasikan sebagai berikut. (1) Perubahan dalam tahap satu sel, yakni granulasi, penyusutan, mallokasi, pembentukan gelembung yang kecil atau besar, hyalinasi sitoplasmik, deformasi dan disintegrasi. Tiga perubahan pertama yang terjadi menandakan telur mengalami kerusakan parah. (2) Perubahan dalam tahap perkembangan, secara garis besar terbagi dalam dua bagian yaitu (a) embrio yang terpisah secara tidak normal yang merupakan karakteristik dari kehadiran blasmer-blasmer dengan ukuran tak seimbang di tahap awal dan embrio yang pecah di tahap akhir, dan (b) bentuk yang beragam sebagaimana terlihat dalam tahap satu sel yang kelihatan dalam tiap blasmer atau dalam embrio. PENUTUP Dihasilkan 63 formula indeks dan 6 formula arah pertumbuhan telur dan larva Geohelminths di 7 jenis tanah perdesaan Pulau Ambon. Indeks dan arah pertumbuhan A. Lumbricoides berbeda dengan T. trichiura, dan cacing kait sesuai jenis tanah dan kondisi kebasahan tanah (basah, kering, lembab). Dengan dihasilkannya formula indeks dan arah pertumbuhan telur dan larva Geohelminths dari 7 jenis tanah perdesaan Pulau Ambon, maka dianjurkan kepada para peneliti terutama dengan bidang kajian Tropical Medicine dan Parasitologi Kedokteran, untuk dilakukan penelitian lanjutan di lapangan dengan memasukkan variabel-variabel lain yang belum diujikan, maupun dengan metode penelitian dan teknik analisis yang lain. DAFTAR PUSTAKA 1.Alfonso J, Morales R., 2006. Link between Public Health Policy and Ecoepidemiology in the Integrated Control of Publicc Health Problems: the Example of Malaria in Venezuela, Sociedad Cientifica de Estudianted de Mediciana de la UCV, Google, http://www.geocities.com /actacientificaestudiantil2/39_2006.pdf, Download 16/05/ 2006 2.Bhisma M., 1997. Prinsip Dan Metode Riset Epidemiologi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta 3.Boes J, Medley G F, Eriksen L, Roepstorff A, Nansen P., 1998. Distribution Of Ascaris lumbricoides Suum In Experimentally And Naturally Infected Pigs And Comparasion With Ascaris lumbricoides Infection In Humans, Parasitology, PMID: 9881384 [PubMed – indexed for MEDLINE], Download 15/11/ 2005 4.Bradley JE., Jackson JA., 2004. Immunity, Immunoregulation And The Ecology Of Trichuriasis And Ascariasis, Parasite Immunol, PMID: 15771679 [PubMed – indexed for MEDLINE], Download 15/11/ 2005 5.Buckman H O, Brady N C., Terjemahan Soegiman, 1982. Ilmu Tanah, Bharatara Karya Aksara, Jakarta 6.Dinkes Kota Ambon., 2006. Rekap Laporan Bulanan Puskesmas di perdesaan Pulau Ambon Tahun 2004, 2005, Januari – Juli 2006 7.Elkins D B, Haswell-Elkins M, Andersons R M., 1986. The Epidemiology And Control Of Intestinal Helminths In The Pulicat Lake Region Of Southern India. I. Study Design And Pre And Post-Treatment Observations On Ascaris lumbricoides Infection, Trans R Soc Trop Med Hyg, PMID: 3603617 [PubMed – indexed for MEDLINE], Download 15/11/ 2005 8.Lawrence R, Orihel. T C., 1991. Paratities: A Guide To Laboratory Procedures and Identification, ASCP Press, American Society of Clinical Pathologists Chicago Lo C T, Lee K M., 1996. Intestinal Parasites Among The Southeast Asian Laborers In Taiwan During 1993-1994, Zhonghua Yi Xue Za Zhi, PMID: 8803301 [PubMed – indexed for MEDLINE], Download 15/11/ 2005 9.Morishita K., 1972. Progres Of Medical Parasitology In Japan, Vol. IV, Meguro Parasitological Museum, Tokyo 10.Morton B G S, Greene W H, Gottlieb N H., 1995. Introduction To Health Education And Health Promotion, Secon Edition, Waveland Press Inc, United States Of Amerika 11.Rioux J A, Ashford R W, Khiami A., 1992. Ecoepidemiology Of Leihmaniases In Syria. 3. Leishmania Major Infection In Psammomys Obesus Provides Clues To Life History Of The Rodent And Possible Control Measures, Ann Parasitol Hum Comp, PMID: 1301732 [PubMed – indexed for MEDLINE], Download 16/09/2006 12.Saathoff E, Olsen A, Sharp B, Kvalsvig J D, Chris C, Appleton, Kleinschmidt I., 2005. Ecologic Covariates Of Hookworm Infection and Re-Infection in Rural Kwazulu-Natal/South Africa: A Geographic Information System-Based Study, Am. J. Trop. Hyg, The American Society of Tropical Medicine and Hygiene, Download 15/11/2005 13.Ye XP, Wu ZX, Sun FH., 1994. The Population Biology And Control Of Necator Americanus In A Village Community In South-Eastern China, Ann Trop Med Parasitol, PMID: 7893178 [PubMed – indexed for MEDLINE], Download 15/11/ 2005