Selamat Datang Di Remanda'S Community

BENTENG PASSO - AMBON

BENTENG PASSO - AMBON
(Foto: Amanda'S)

Rabu, 24 Juli 2019



Uji Toksisitas  Bahan Makanan Berbahan Dasar Crasostrea (Rock oyster) Sebagai Obat Cacing Lokal Di Daerah Perbatasan Pulau Ambon

Oleh: Salakory 1)., Agust Ufie2)., Riry R3)
1)Guru Besar Bidang Medical Geography Unpatti., 
2)Staf Pengajar Bidang Sosiologi Program Studi Sejarah Unpatti., 
3)Staf Pengajar Remote Sensing dan SIG Program Studi  Geografi Unpatti


ABSTRAK

Sesuai SK Menteri Kesehatan RI Nomor 15 (2017), Brooker (2000, 2004, 2006), Salakory (1996, 2010, 2011), kontrol terhadap Soil Transmitted Helminths (STH) dapat dilakukan dengan beberapa intervensi yaitu; perlu dilakukan penelitian terintegrasi untuk menemukan lingkungan risiko dan daerah endemis, membentuk persepsi sehat masyarakat khususnya di daerah dengan lingkungan risiko tinggi, melakukan pengobatan masal dengan pendekatan berbasis local wisdom. Pengobatan masal dengan pendekatan local wisdom dimaksudkan untuk mendorong perilaku pencarian pelayanan kesehatan masyarakat miskin.
Metode yang dipergunakan adalah kombinasi yaitu: Survey dengan rancangan Cross Sectional dikombinasikan dengan True Exsperimen di laboratorium, serta dilanjutkan dengan Pengembangan.
Kegunaan hasil diharapkan dapat terbentuk persepsi sehat di kelompok risiko, menurunkan angka prevalensi STH, menggunakan obat-obat cacing dengan bahan dasar yang diperoleh dari lingkungan perbatasan pulau Ambon, memberikan rujukan kebijakan bagi pengambil kebijakan bidang kesehatan di provonsi Maluku
Telah  dilakukan identifikasi dan uji aktivasi terhadap bahan-bahan dasar obat cacing yang diperoleh dari lingkungan sekitar (local wisdom). Ditemukan 4 bahan dasar obat cacing dengan spectrum luas. Salah satunya adalah Crasostrea (Rock oyster). Ekstrak dari  Crasostrea (Rock oyster) kemudian dicampurkan ke dalam tepung sagu dan ketela pohon maupun ubi-ubian sebagai bahan dasar pembuatan camilan. Ekstrak Crasostrea (Rock oyster) terlebih dahulu  diuji toksik secara in vivo. Hasil pengujian dosis letal tengah (LD50), tidak terdapat perubahan gejala klinis yang signifikan serta tidak terdapat kematian terhadap hewan uji, sehingga ekstrak Crasostrea (Rock oyster) tidak mengandung toksik.


Kata Kunci: STH, Toksisitas, Rock oyster

Senin, 28 November 2016

Geografi Medik (Konsep, Teori Dan Aplikasi)

Geografi Medik (Konsep, Teori Dan Aplikasi)
(Resume Buku: Pidato Pengukuhan Guru Besar Dalam Bidang Geografi Medik)
Oleh: Prof.Dr.M.Salakory.,M.Kes

Pendahuluan
Topik ini merupakan bagian dari Ilmu Medical Geography atau di Indonesia disebut dengan nama geografi medik, kadang-kadang disebut juga geografi kesehatan. Ilmu ini sesungguhnya di Indonesia masih belum dikenal luas bahkan sering menimbulkan debat table di kalangan praktisi maupun kalangan keilmuan. Perbedaan pendapat tersebut sebenarnya lebih disebabkan oleh pendekatan yang  akan dipergunakan baik pada kalangan praktisi maupun  kalangan keilmuan. Misalnya dalam mengkaji satu kejadian penyakit terkait lingkungan sebagian akan memulainya dari kasus yang muncul kemudian diikuti secara retrospektif  bagaimana agent penyakitnya, dan  bagaimana indikator variabel lingkungannya.  Sementara pendekatan kedua menekankan kepada  ketersediaan  indikator variabel lingkungan dan sebarannya. Dengan mengetahui ketersediaan indikator variabel lingkungan dan sebarannya dalam suatu ruang, wilayah, lingkungan, maka dapat diperkirakan  kemungkinan dinamika pertumbuhan agent penyakitnya,  begitupun juga dengan  risiko terinfeksi   dan kejadian satu penyakit (Relative Risk/RR). Pada pendekatan  kedua, core kajiannya terletak pada dinamika perubahan indikator lingkungan baik secara keruangan, kewilayahan, maupun kelingkungan dengan, sedangkan pada pendekatan pertama, core kajiannya terletak pada kasus penyakit yang muncul kemudian dicari factor-faktor risikonya. Dari segi metodologi, pendekatan kedua menekankan pada  prospective cohort, sedangkan pendekatan  pertama retrospective-cohort.
Ide , pemikiran, konsep dan keilmuan  para Guru Besar dari Fakultas Kedokteran dan Kesehatan UGM, Fakultas Geografi  UGM, dan Fakultas Kedokteran UNAIR yang selama ini membimbing dan mengarahkan,  kemudian terintegrasi dan terimplementasi untuk melahirkan embrio Geografi Medik yang selama itu hanya berkembang pada tataran diskusi akademik belaka.
Ke depan Geografi  Medik diharapkan mendapat tempatnya sesuai kodrat keilmuannya  (pohon keilmuan geografi)  dan diakui sebagai salah satu  bidang penting yang  bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang masalah kesehatan dan meningkatkan kesehatan individu maupun masyarakat  di seluruh dunia berdasarkan berbagai faktor geografis yang mempengaruhi mereka.

Geografi Medik

Geografi medik, kadang-kadang disebut geografi kesehatan, merupakan lingkup penelitian kesehatan yang menggabungkan teknik geografis ke dalam kajian kesehatan. Geografi medik mempelajari faktor-faktor lingkungan yang berisiko pada kesehatan individu maupun masyarakat serta distribusi pelayanan kesehatan. Oleh karena itu dewasa ini, Geografi medik dianggap sebagai salah satu  bidang penting karena bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang masalah kesehatan dan meningkatkan kesehatan individu maupun masyarakat  di seluruh dunia berdasarkan berbagai faktor geografis yang mempengaruhi mereka (Meade, at all: 2010).  Dari definisi beberapa sumber kajian dapat disebutkan bahwa Geografi Medik atau Geografi Kesehatan adalah  aplikasi informasi geografis, perspektif, dan metode geografi untuk mempelajari kesehatan, penyakit, dan perawatan kesehatan.  

Geografi Medik VS Kesehatan Hari Ini 

Hari ini, geografi medik atau geografi kesehatan  memiliki sejumlah aplikasi. Karena distribusi spasial penyakit masih merupakan masalah besar, oleh sebab itu pemetaan memainkan peran besar di lapangan. Peta dibuat untuk menunjukkan sebaran penyakit seperti halnya wabah influensa bersejarah yang terjadi di tahun 1918, atau kejadian-kejadian sesaat  seperti indeks nyeri yang pernah terjadi  di seluruh Amerika Serikat. Dalam pemetaannya, faktor-faktor seperti iklim dan lingkungan dapat dipertimbangkan dalam menjelaskan kejadian nyeri pada klaster tertentu dan di suatu waktu tertentu pula.Seorang professional geografi kesehatan mengatakan bahwa; “Sejauh yang saya tahu, istilah 'geografi kesehatan' berasal serangkaian artikel yang ditulis oleh Robin Kearns pada 1990-an dengan alasan bahwa 'geografi medik harus (kembali) diletakkan dalam kerangka keilmuan geografi sosial'. Dalam makalah awalnya ia menulis:...bahwa dua aliran yang diidentifikasi saling terkait dalam bidang kedokteran/ kesehatan/ geografi yaitu geografi medik dan geografi kesehatan. Geografi akan mempertimbangkan hubungan dinamis antara kesehatan dan  tempat  layanan kesehatan dan geografi medik mempertimbangkan kesehatan kelompok atau populasi yang mendiami suatu bentang alam tertentu.  Saya pribadi lebih tertarik pada bagaimana analisis geografis dapat memberikan kita wawasan tentang kesehatan dan  sakit-penyakit, dari bagaimana masalah kesehatan dapat menginformasikan kepada kita tentang sifat tempat. Untuk kedua alasan tersebut, saya lalu menganggap diri saya sebagai 'ahli geografi medik' daripada 'geografi kesehatan (Profesional Geographer 45 (2), 144-5).

 Terlepas dari apakah satu lebih suka menggunakan istilah Geografi Medik atau Geografi Kesehatan, disiplin secara tradisional telah dibagi menjadi dua mata pelajaran yang cukup berbeda: satu meneliti faktor geografis yang berkontribusi terhadap gangguan kesehatan dan penyakit (epidemiologi geografis); sedangkan yang lainnya lagi menekankan pada  faktor geografis yang mempengaruhi penyediaan dan akses ke pelayanan kesehatan (geografi kesehatan). Sebagai salah satu penganjur Geografi Medik di Indonesia, pandangan saya lebih mendapat pembobotan lebih pada  Broker.S (2002, 2003, 2005, 2006) dengan memandang  Geografi Medik sebagai  hibrida baru penelitian antara geografi dan obat-obatan yang melibatkan aspek geografis, kedokteran dan kesehatan. Tujuan dari penelitian penelitian tersebut  adalah untuk meningkatkan pemahaman tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan masyarakat”.  Ada beberapa buku teks geografi medik yang ditulis untuk berbagai tingkat penyelidikan yang mengkhususkandalam berbagai bagian lapangan. Meade dan Emch (2010)  kajiannya  secara  komprehensif  dengan penekanan pada studi geografis kesehatan, yaitu: penyakit, dan perawatan kesehatan, dengan penekanan pada ekologi penyakit baik penyakit menular maupun  tidak menular di lingkungan alami, buatan, dan sosial. Gatrell dan Elliott (2009), menekankan  pada  lingkungan sosial daripada yang lain. Satu bagian penting dari tulisannyadikhususkan untuk kualitas udara dan air, serta  perubahan lingkungan, seperti penipisan ozon, dan kesehatan yang buruk. Anthamatten dan Hazen (2011), dapat dipandang sebagai  pengantar geografi medik. Buku ini ditulis dengan  tiga pendekatan utama yaitu: ekologi, sosial, dan tata ruang.
 Di luar buku teks terdapat  juga beberapa koleksi makalah maupun kumpulan makalah seperti yang ditulis oleh  Brown, et al. (2010). Makalah ini dianggap sebagai  yang paling komprehensif. Dimulai dengan pengenalan subdiscipline dan kemudian bagian studi penyakit dan metodologi, diikuti oleh beberapa bab pada kesehatan dan kesejahteraan. Hunter (1974),   kumpulan makalah bersejarah, sebab  memuat  studi kasus empiris yang akan menjadi landasan yang baik bagi siapa saja yang ingin memahami bidang Geografi Medik.


Aplikasi Geografi Dalam Bidang Kesehatan
Kompetensi professional yang dimiliki dalam   menganalisis macam dan komponen lingkungan ambient sebagai risiko timbulnya penyakit (penyakit terkait lingkungan) dengan salah satu contoh kejadian  adalah degradasi fungsi tanah akibat terkontaminasi oleh tinja yang mengandung telur dan larva Soil Transmitted Heliminths/ Geohelminths. Pembuktian fenomena penyakit kecacingan (Soil Transmitted Helminths/ Geohelminths) dapat dijelaskan secara komprehensif dengan mengintegrasikan  beberapa bidang kajian penunjang antara lain:
 1.Parasitologi
Pengembangan konsep  difokuskan pada pengetahuan akan parasit-parasit yang ada di lingkungan hidup manusia yang dapat menginfektif manusia sehingga menyebabkan timbulnya penyakit-penyakit infeksi pada manusia. Aplikasi bidang ini  mencakup;  daerah sebarannya, habitatnya, morfologinya, dan siklus hidupnya. Dalam hubungannya dengan penelitian ini, dibatasi pada Soil Transmitted Helminths/ Geohelminths.
2.Teknik Laboratorium Micro Culture
Difokuskan pada teknik culture atau pembiakan telur Soil Transmitted Helminths/ Geohelminths di laboratorium dengan media tanah yang dikondisikan sesuai dengan keadaan lapangan, dan pemeriksaan dengan microscop, serta pembacaan hasil.


 3.Remote Sensing
Pengembangan konsep diarahkan pada pengetahuan dan pemahaman prinsip-prinsip penginderaan jauh, serta dapat menganalisis citra untuk memperoleh informasi spasial sesuai kebutuhan penelitian faktor lingkungan risiko Soil Transmitted Helminths. Aplikasi  Remote Sensing pada penelitian tersebut  adalah:
a.Diperoleh informasi atau data jenis tanah dan sebarannya secara cepat, akurat, dan dapat meliputi daerah yang luas (Pulau Ambon).
b. Diperoleh informasi atau data air tanah, kelembaban tanah dan sebarannya secara cepat, akurat, dan dapat meliputi daerah yang luas (Pulau Ambon).
c. Diperoleh informasi atau data indeks vegetasi atau NDVI  dan sebarannya secara cepat, akurat, dan dapat meliputi daerah yang luas (Pulau Ambon).
d.Diperoleh informasi atau data cuaca dan sebarannya secara cepat, akurat, dan dapat meliputi daerah yang luas (Pulau Ambon).



 4.SIG: Sistem Informasi Geografi (SIG)
Pengembangan konsep diarahkan pada pengetahuan dan pemahaman konsep dasar dan teori SIG serta dapat mengolah data, dan menghasilkan peta sesuai kebutuhan (faktor lingkungan risiko dan daerah endemis STH. Aplikasi  Sistem Informasi Geografi (SIG)  pada penelitian tersebut  adalah:
a.Dihasilkan peta-peta tematik sesuai variabel lingkungan.
b.Dilakukan tumpangsusun/ overlay  peta - peta tematik untuk menghasilkan peta-peta potensi atau risiko (potensi atau risiko dinamika telur dan larva Soil Transmitted Helminths/ Geohelminths di tanah lahan permukiman, dan potensi atau risiko prevalensi Soil Transmitted Helminths/ Geohelminths pada penduduk satuan lahan permukiman).
c.Atas dasar peta potensi/ risiko maka di buat peta urgensi intervensi untuk pemberantasan Soil Transmitted Helminths/ Geohelminths.



Rujukan
Achmad H, Mardihusodo S J, Sutanto, Hartono, Kusnanto H., 2003. Estimasi Tingkat Intensitas Penularan Malaria Dengan Dukungan Penginderaan Jauh (Studi Kasus di Daerah Endemis Malaria Pegunungan Manoreh Wilayah Perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan Istimewa Yogyakarta), Jurnal Ekologi Kesehatan (The Indonesian Journal Of Health Ecology), Vol 2 No 1 April 2003
Brooker S, Michael E., 2000. The Potential Of Geographical Information Systems And Remote Sensing In The Epidemiology And Control Of Human Helminth Infection, PubMed, PMID: 10997209 [PubMed-indexed for MEDLINE], download  15/11/ 2005
Brooker S, Beasley M, Ndinaromtan M, Madjiouroum E M, Baboguel M, Djenguinabe E, Hay S I, Bundy D A P., 2002.  Use Of Remote Sensing and A Geographical Information System In A National Helminth Control Programme In Chad, Bulletin Of The Word Health Organization, 80 (10), E-mail: simon.brooker@lshtm.ac.uk.
Brooker S, Simon I, Hay, Tchuente L A, Ratard R., 2002. Using NOAA – AVHRR, Data To Model Human Helminth Distributions in Planning Disease Control In Cameroon, West Africa, Photogrametric Enginering & Remote Sensing Vol. 68, No. 2, American Society For Photogrametry and Remote Sensing, download 31/01/ 2006 
Brooker S, Michael E., 2004. Spatial Analysis Of The Distribution Of Intestinal Nematode Infections In Uganda, Epidemiol Infect, PMID: 15635963 [PubMed – indexed for MEDLINE], download 15/11/ 2005
Brooker S, Alexander N, Geiger S, Moyeed R A, Stander J, Fleming F, Hotez P J, Oliviera R C, Bethony J., 2006. Contrasting patterns in the small-scale heterogeneity of human helminth infections in urban and rural environments in Brazil, International Journal for Parasitology 36 (2006) 1143-1151, Elsevier, E-mail: simon.brooker@lshtm.ac.uk.
Brooker S., 2006. Spatial Epidemiology Of Human Schistosomiasis In Afrika: Risk Model, Transmission Dynamic and Control, The Royal Society Of Tropical Medicine And Hygiene (2007) 101. 1-6, London
Brooker S, Clements A C A, Bundy D A P., 2006. Global Epidemiolgy, Ecology, and Control of Soil Transmitted Helminth Infections, Advances In Parasitology, Vol 62, Elsevier Ltd
Baro-Rasmussen  F, Lokke  H., 1984. Ecoepidemiology a Casuistic Discipline Describing  Ecological Disturbances and Damages In Relation to Their Specific Cauces: Exemplified By Clorinated phenols an  Chlorophenoxy acid, Regul Toxicol Pharmacol, PubMed, download 16/05/ 2006
Campbell J B., 2002, Introduction To Remote Sensing, Third Edition, Guildford Press, New York
Dulbahri., 1997. Pemanfaatan Foto Udara Untuk Diteksi Potensi Sumber Penyebaran Penyakit Di Dalam Kota, Makalah, Disampaikan Pada Seminar Nasional Penginderaan Jauh Untuk Kesehatan Pemantauan Dan Pengendalian Penyakit Terkait Lingkungan, FK. UGM, Yogyakarta

Faust, E C, Russell, Paul P., 1964. Clinical Paracitology. Seventh edition, Philadelphia
Garg P K, Perry S, Dorn M, Hardcastle L, Pearsonet J.,  2005. Risk Of Intestinal Helminth And Prozoan Infection In a Refugee Population, Am J Trop Med Hyg, PMID: 16103610 [PubMed – indexed for MEDLINE], download 15/10 2005
Geocities., 2007. Teori Dasar Interpretasi Citra Sateli Landsat TM7+ Metode Interpretasi Visual (Digitize Screen), http://www.google.com, Download 22/08/ 2007
Goodchild M F, Steyaert L T, Parks B O., 1996. GIS and  Environmental Modeling: Progress and Research Issues,GIS World, Inc, USA
Hartono, Barano Th, Farda N M, Kamal M., 2005. Analisis Data Penginderaan Jauh Dan SIG Untuk Studi Sumberdaya Air Permukaan Dan Rawa Biru Merauke Papua, Siminar Nasional MIPA 2005 FMIPA – Universitas Indonesia Depok,  http://www.google.com, download 22/08/ 2007
Hunter, John M., ed., 1974. The Geography of Health and Disease: Papers of the First Carolina Geographical Symposium. Chapel Hill: University of North Carolina, Department of Geography
Jones, K. and Moon, G., 1987. Health Disease and Society, London: RKP, chapter 1.
Kearns, R., 1993.  Place and Health, Professional Geographer, 45, 139-47.
Ketut W, Utama Y P, Riqqi A., 2005. Deteksi Perubahan Vegetasi Dengan  Metode Spectral Mixture Analysis (SMA) dari Citra Satelit Multitemporal Landsat TM dan ETM, Jurnal Infrastuktur dan Lingkungan Binaan, Vol. I No.2 Desember  2006, http://www.google.com, download 25/08/ 2007
Lawrence R, Orihel. T C., 1991. Paratities: A Guide To Laboratory Procedures and Identification, ASCP Press, American Society of Clinical Pathologists Chicago
Mardihusodo S J., 1997. Penginderaan Jauh Untuk Kesehatan Pemantauan Dan Pengendalian Penyakit Terkait Lingkungan, Fakultas Kedokteran. UGM, Yogyakarta
Meade, Melinda S., and Michael Emch., 2010. Medical Geography. 3d ed. New York: Guilford, 2010.
Morales G A, Pino L A, Chourio-Lozano G., 1994. Ecoepidemiology Of Ascaris lumbricoides in an Endemic Area and Its Relation With Blood Groups, Acta Cient Venez, PMID: 9239849 [PubMed – indexed for MEDELINE], download 16/09/2006
Morishita K., 1972. Progres Of Medical Parasitology In Japan, Vol. IV, Meguro Parasitological  Museum, Tokyo
Projo D., 1997. Spatial Modeling For Health Studies Contribution Of Remote Sensing And Geographic Information Systems In Hendling Health Problems, Makalah, Disampaikan Pada Seminar Nasional Penginderaan Jauh Untuk Kesehatan Pemantauan Dan Pengendalian Penyakit Terkait Lingkungan, FK. UGM, Yogyakarta
Salakory M., 1996. Pengaruh Bentang Alam Dan Budaya Penduduk Di Pegunungan Dan Di Pantai Terhadap Prevalensi Infeksi Penyakit Cacing Yang Penularannya Melalui Tanah, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya
Soedarto, 1992, Helmintologi Kedokteran, EGC, Jakarta
Sutanto., 1997. Penginderaan Jauh Dan Sistem Informasi Geografis Perkembangan Mutakhir Dan Terapannya, Makalah, Disampaikan Pada Seminar Nasional Penginderaan Jauh Untuk Kesehatan Pemantauan Dan Pengendalian Penyakit Terkait Lingkungan, FK. UGM, Yogyakarta
Udonsi J K G,. Atata G., 1987. Necator americanus: Temperature, pH, light, and larval development, longevity, and desiccation toleranceExperimental Parasitology, Volume 63, Issue 2, Copyright © 1987 Published by Elsevier Inc, download 20/05/2010
USDA (United States Departemen Of Agriculture), 1999. Soil Taxonomy  A Basic System Of Soil Classification For Making and Interpreting Soil Surveys, Natural Resources Conservation Service, Second Edition
Wyatt P and Ralphs M., 2003. Gis in Land and Property Management, Spon Press, London
Ye XP, Wu ZX, Sun FH., 1994. The Population Biology And Control Of Necator Americanus In A Village Community In South-Eastern China, Ann Trop Med Parasitol, PMID: 7893178 [PubMed – indexed for MEDLINE], download 15/11/ 2005





Kamis, 16 Oktober 2014

BUNGA RAMPAI DARI NEGERI WASSU....ERIHATU SAMASURU

--------------Mohon Maaf Tulisan Bunga Rampainya Tidak Lagi Ditampilkan

(Salam: Pemilik Blog)

Senin, 06 Januari 2014

Strategi Penanggulangan Geohelminths Melalui Idenfikasi Lingkungan Risiko Dan Bahan Dasar Obat Cacing Di Satuan Lahan Endemis Pesisir Perdesaan Pulau Ambon

Oleh: Salakory Melianus*),. G.E.Tetelepta**),.R.B.Riry*) Sesuai SK Menteri Kesehatan RI (2006), Brooker (2000, 2004, 2006), Salakory (2010), kontrol terhadap Geohelminths dapat dilakukan dengan beberapa intervensi yaitu; perlu dilakukan penelitian terintegrasi untuk menemukan lingkungan risiko dan daerah endemis, membentuk persepsi sehat masyarakat khususnya di daerah dengan lingkungan risiko tinggi, melakukan pengobatan masal dengan pendekatan berbasis local wisdom. Pengobatan masal dengan pendekatan local wisdom dimaksudkan untuk mendorong perilaku pencarian pelayanan kesehatan masyarakat miskin. Dilakukan analisis citra satelit multyspectral untuk mengetahui komponen lingkungan risiko. Hasil interpretasi citra, kemudian diolah melalui Sistem Informasi Geografi dengan program ArcView untuk menghasilkan peta distribusi lingkungan risiko Geohelminths tersebut. Penduduk dengan risiko terinfeksi Geohelminths yang tinggal pada satuan lahan sesuai lingkungan risiko akan diperiksakan faeces-nya untuk mengetahui prevalensi infeksi akibat Geohelminths, melakukan identifikasi dan uji aktivasi terhadap bahan-bahan dasar obat cacing yang diperoleh dari lingkungan sekitar (local wisdom). Tahapan selanjutnya adalah membuat software sistem informasi lingkungan risiko Geohelminths. Atas dasar rekomendasi kebijakan tersebut, dilakukan tindakan pencegahan dan pengobatan pada kelompok risiko. Tindakan pencegahan berupa pemilihan Da’I dan Dokter cilik kondang. Pengobatan kepada kelompok risiko yang positif Geohelminths dilakukan dengan menggunakan obat-obat yang berasal dari lingkungan sekitar (local wisdom). Kegunaan hasil diharapkan dapat terbentuk persepsi sehat di kelompok risiko, menurunkan angka prevalensi Geohelminths, menggunakan obat-obat cacing dengan bahan dasar yang diperoleh dari lingkungan pesisir pulau Ambon, memberikan rujukan kebijakan bagi pengambil kebijakan bidang kesehatan di provonsi Maluku. Metode yang dipergunakan adalah kombinasi Survey, True Exsperimen di laboratorium, dan Pengembangan. Untuk mendapatkan data lingkungan risiko Geohelminths di daerah endemis pesisir perdesaan Pulau Ambon secara akurat dan cepat maka dipergunakan citra Landsat TM. Perolehan citra Landsat TM melalui kerja sama dengan Jurusan Penginderaan Jauh Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada dengan pihak LAPAN. Citra Landsat TM yang diperoleh kemudian diolah dengan menggunakan program Er mapper untuk memperoleh data penggunaan. Data hasil interpretasi citra Landsat TM+ tersebut, kemudian diolah dengan ArcView untuk menghasilkan peta-peta tematik, yang kemudian dipadukan dengan beberapa peta hasil produksi Fakultas Pertanian Universitas Pattimura (tahun 1985). Diperoleh 3 buah peta tematik yaitu; peta jenis tanah, peta bentuk lahan dan, peta penggunaan lahan, hasil tumpang tindihnya dihasilkan peta satuan lahan. Dihasilkan pula 9 buah peta tematik lingkungan risiko. Kesembilan buah peta tematik tersebut kemudian ditumpangtindihkan kepada peta satuan lahan, sehingga diperoleh peta-peta tematik lingkungan risiko menurut satuan lahan. Data lingkungan risiko Geohelminths yang terdiri dari: data jenis tanah yang meliputi jenis tanah Aluvial dan jenis tanah Rensina, data tekstur tanah yang meliputi kandungan pasir, kandungan debu, dan kandungan lempung, data suhu permukaan, data porositas tanah, data kandungan air tanah lapang, data permeabilitas tanah, data pH tanah, data kerapatan vegetasi, data organisme tanah, dan data perakaran di tanah. Dilakukan pula uji hipotesis dengan menggunakan t Test untuk melihat ada tidaknya perbedaan rata-rata populasi. Sharing peneliti dengan ibu-ibu dusun Hurnala Negeri Tulehu Kecamatan Salahutu dan ibu-ibu Negeri wakal Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah berhasil teridentifikasi 4 bahan obat cacing lokal yang diperoleh dari lingkungan sekitar. Obat-obat cacing tradisional tersebut selama ini sudah dipergunakan sejak lama secara turun temurun dari orang tua mereka. . Hasil uji aktivasi Laboratorium terhadap 4 bahan dasar obat yang secara turun temurun sering dipergunakan masyarakat pesisir dalam mengobati kecacingan anggota keluarga mereka, menunjukkan bahwa daun Paederia scandes (kentut-kentut) memiliki spektrum luas dalam mengatasi kecacingan (infeksi oleh Geohelminths), disusul oleh Crassostrea (Rock oyster), kulit pohon Plumeria acuminate (kamboja) dan biji Leucaena leucocephala (Lamtorogung).


Hal mana ditandai dengan besar kecilnya nilai Indeks DGR baik untuk telur dan larva Hookworm, telur Ascaris lumbricoides, maupun Trichuris trichiura. Dengan telah teridefikasi dan dihasilkannya peta lingkungan risiko Geohelminth di daerah endemis pesisir perdesaan Pulau Ambon, maka diharapkan dapat memberikan informasi akurat kepada para perencana dan pengambil kebijakan di bidang kesehatan dalam hal ini Dinas Kesehatan Kabupaten dengan seluruh stake holdersnya dalam melakukan penanggulangan permasalahan kecacingan di masyarakat secara efektif dan efisien. Dengan telah teridetifikasinya 4 bahan obat cacing lokal yang diperoleh dari lingkungan sekitar dan obat-obat cacing tradisional tersebut selama ini sudah dipergunakan sejak lama secara turun temurun dari orang tua mereka, maka diharapkan dapat ditindaklanjuti dengan pengujian aktivasi toksik maupun klinisnya sebelum dirujuk sebagai bahan dasar obat cacing maupun sebagai obat cacing yang aman untuk dikonsumsi. SEMOGA SUKSES.....

Minggu, 20 Oktober 2013

Pemodelan Papalele Sebagai Model Budaya Ekonomi Subsisten Dalam Pemberdayaan Masyarakat Pesisir

Oleh: Revalda Amanda Salakory*) 
AGP FIK UNPATTI KARYA ILMIAH

I. PENDAHULUAN 
1.Latar Belakang
Indonesia Sebagai Negara maritim memiliki 70% wilayah adalah laut dengan luas 5.800.000 km2, dan terhampar lebih 17.504 pulau sepanjang garis katulistiwa. Rentang garis pantai terbujur sepanjang 81.290 km (http://indomaritimeinstitute.org). Sebagai provinsi kepulauan, Maluku juga memiliki luas perairan mencapai 658.295 km dan luas daratannya mencapai 54.185 km, dengan panjang pantai 10.662 km (http://id.scribd.com), serta didiami oleh suatu komunitas yang sumber kehidupan perekonomiannya bergantung secara langsung pada pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir. Pada jaman dulu dalam dalam system perekonomian mereka (ekonomi subsisten) ini belum ada istilah "uang" sebagai alat tukar-menukar. Mereka yang belum tercukupi kebutuhannya bisa tukar menukar barang (barter) dengan tetangga atau kerabatnya. Mereka terdiri dari nelayan pemilik, buruh nelayan, pembudidaya ikan dan organisme laut lainnya, pengolah ikan, dan pedagang ikan dalam skala kecil ... (Koentjaraningrat .1990). Kelompok ini pula yang lebih dikenal sebagai kelompok subsisten, sebab umumnya mereka menjalani usaha dan kegiatan ekonomi untuk menghidupi keluarga sendiri, dengan skala yang begitu kecil. Sebagai akibatnya Hasil dari usahanya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam jangka waktu yang sangat pendek (Nikijuluw. 2001). Masih menurut Nijuluw (2001), dalam kasus tertentu, mereka atau nelayan-nelayan ini masih dapat bekerja sama atau bermitra dengan perusahaan besar, sehingga mereka dapat pergi menangkap ikan lebih jauh dari pantai. Namun demikian, peningkatan penghasilan dari hasil kerja sama ini tidak banyak berarti karena jumlah anggota rumah tangga yang besar menyebabkan jumlah penghasilan mereka belum mencukupi untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari. Mengacu pada pemikiran Soegijono (2008) tentang papalele sebagai budaya ekonomi lokal yang bertumbuh dan berkembang di tengah kegelisahan ini semakin kuat ketika perilaku ekonomi modern selalu mendominasi proses-proses penguatan kapasitas masyarakat dalam mengembangkan berbagai teknik dan strategi usaha di tataran lokal, maka penulisan Karya Ilmiah dengan judul “Pemodelan Papalele Sebagai Model Budaya Ekonomi Subsisten Dalam Pemberdayaan Masyarakat Pesisir” ini menjadi urgen diwacanakan sebagai model pemberdayaan masyarakat pesisir. Konsep pikir ini didasarkan pada kenyataan-kenyataan disaat kekuatan kapitalisme mengusai pasar yang ditandai dengan kemunculan pasar-pasar swalayan modern, metode penjulanan berjaringan, sampai pada penjualan melalui pasar teknologi eletronik dan sebagainya, ternyata masih terdapat segelintir masyarakat lokal yang mampu mempertahankan eksisitensi aktivitas ekonomi kelokalannya yang bersifat tradisional. Eksistensinya itu diwujudkan dalam bentuk melayani masyarakat untuk memenuhi kebutuhan keseharian (Soegijono, 2008). Model ekonomi kelokalan yang bersifat tradisional dan sederhana ini umumnya dilakukan oleh rumah tangga sebagai pemilik berbagai faktor produksi yang tersedia dalam perekonomian, maupun oleh organisasi yang dikembangkan seseorang atau sekumpulan orang dengan tujuan untuk menghasilkan berbagai jenis barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat. Dalam sistem ini hanya dikenal produksi dan konsumsi yang oleh Husin. S (2012) diklasifikasikan sebagai sistem ekonomi subsisten. Dalam konteks sistem ekonomi lokal masyarakat Ambon dan sekitarnya, papalele sudah tidak asing lagi sebab sudah terbukti mampu bertahan dikala kondisi resesi ekonomi dan perbankan yang melanda Indonesia tahun 1979 lalu. Antara tahun 1999 – tahun 2005 di kala masyarakat Maluku dihadapkan dengan konflik kemanusiaan maka sistem ekonomi lokal Ambon ini menunjukkan keeksistensinya. Di kala itu banyak bermunculan pasar kaget/ pasar bakudapa di kalangan dua komunitas yang bertikai kala itu dan semua itu karena peran serta para papalele. Hal mana lebih dikuatkan pula oleh Soegijono (2008) yang mengatakan bahwa; … “ketika papalele dilihat dalam perpektif ekonomi “keambonan” yang tetap survive berhadapan dengan kekuatan ekonomi kapitalistik…papalele tetap ada dalam kekuatan dan daya tawar pasar-pasar modern yang telah merasuk pada masyarakat kekiniaan. Papalele itu sendiri adalah sebutan lokal pada orang-orang yang melakukan aktivitas ekonomi jual-beli bagi masyarakat, dengan menampakan diri dalam aktivitas ekonomi tradisional, khususnya di bidang perdagangan yang dijalankan dengan cara membeli suatu barang dan kemudian menjual kembali dengan mendapat sedikit keuntungan (Souisa, 1999:39) 
2. Permasalahan 
Adapun permasalahan dari penulisan karya ilmiah ini adalah; bagaimana Pemodelan Papalele Sebagai Model Budaya Ekonomi Subsisten Dalam Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. Permasalahan utama ini dapat dispesifikan lagi sebagai berikut: a.Apa saja potensi papalele sebagai model budaya ekonomi subsisten yang dapat dikembangkan dalam pemberdayaan masyarakat pesisir. b.Bagaimana SWOT-nya. c.Bagaimana strategi pengembangannya. 
3. Tujuan Penulisan 
Adapun tujuan dari penulisan karya ilmiah ini adalah; mengembangkan pariwisata alam pesisir wilayah perbatasan dengan mengoptimalkan fungsi ekologi dan ekonomi hutan mangrove. Tujuan utama ini dapat dispesifikan lagi sebagai berikut: a.Mengidentifikasi apa saja potensi papalele sebagai model budaya ekonomi subsisten yang dapat dikembangkan dalam pemberdayaan masyarakat pesisir. b.Melakukan SWOT-nya. c.Membuat strategi pengembangannya. 

II. TINJAUAN PUSTAKA
1. Papalele 
Papalele adalah sebutan lokal yang tidak asing bagi masyarakat kota Ambon dan sekitarnya. Mereka adalah orang-orang yang melakukan aktivitas ekonomi jual-beli bagi masyarakat. Papalele sering menampakan diri dalam aktivitas ekonomi tradisional, khususnya dibidang perdagangan yang dijalankan dengan cara membeli suatu barang dan kemudian menjual kembali dengan mendapat sedikit keuntungan (http://indonesiatimur.files.wordpress.com. Souisa, 1999). Papalele jika ditinjau dari etimologi; terdiri dari dua kata yaitu papa yang berarti membawa atau memikul dan lele yang berarti keliling. Jadi papalele berarti “berkeliling membawa atau memikul” (Souisa, 1999:38)2. Papalele juga dapat diartikan sebagai “melakukan kegiatan membeli barang, sesudah itu dijual lagi untuk mendapatkan keuntungan” (http://indonesiatimur.files.wordpress.com. Mailoa, 2006). Perempuan Papalele adalah aktivitas dagang tradisional sebagai salah satu jenis sektor informal yang dilakukan oleh perempuan atau wanita yang telah kawin maupun belum kawin dengan menjaja (mengkeku, bahasa Ambon) dengan berjalan sambil membawa barang dagangan di dalam dulang (papan atau loyang), berupa ikan asar atau ikan mentah, atau buah-buahan, makanan kering, sayur-sayuran, atau kebutuhan pangan lain yang diproduksi sendiri atau diambil dari produsen dengan modal sendiri. Papalele dalam aktivitasnya memiliki beberapa pola, hal ini terkait dengan proses menjual suatu barang : Pola pertama, : Papalele pola ini, biasanya setiap hari akan berkeliling kota, lingkungan pemukiman, dan perkantoran untuk menjumpai pembeli dan pelanggannya. Transaksi ataupun tidak transaksi, tetapi adalah kewajiban papalele menjumpai konsumen. Pola kedua, : Papalele, yang menggunakan paruh waktu untuk berkeliling kota dan lingkungan pemukiman (biasanya pagi atau sore), kemudian mengambil posisi tetap pada pasar atau lokasi tertentu menunggu pembeli. Pola ketiga, : Papalele yang sejak pagi hingga sore hari tetap menempati lokasi tertentu (pasar, depan perkantoran, depan swalayan dll). Pada waktu pulang, mereka akan menggunakan kesempatan berjalan sambil menjual (http://fisipmaxmaswekan.blogspot.com. Maswekan. M. 2012). Mengapa orang melakukan kegiatan ekonomi papalele. Menurut Soegijono (2008), ternyata terdapat 5 fenomena sebagai berikut; Pertama: Papalele dalam realitas ekonomi, mampu menjadi suatu katalisator dalam pembangunan masyarakat untuk mengatasi permasalahan kemiskinan. Kedua: Papalele memberikan kontribusi ekonomi bagi pembangunan daerah, tetapi mereka tidak mendapat posisi dalam pembangunan. Ketiga: Papalele berada dalam pusaran dan gunjangan badai krisis ekonomi, tetapi mereka tetap solid dan survive. Keempat: Terindikasi bahwa papalele memperkuat jejaring sosial dan kepercayaan dalam kelompoknya dan dengan luar kelompoknya. Kelima: Papalele memainkan peran sebagai agen antar komunitas yang mampu mempertahankan relasi orang basudara (salam-sarani3) dalam proses distribusi kebutuhan. 

2.Model Ekonomi Subsisten 
Papalele sebagai model ekonomi kelokalan yang bersifat tradisional dan sederhana ini oleh Husin. S (2012) diklasifikasikan sebagai sistem ekonomi subsisten. Masih menurut Husin. S (2012) Ekonomi Subsisten adalah perekonomian sederhana yang dilakukan oleh 2 sektor yaitu Sektor Rumah Tangga sebagai pemilik berbagai faktor produksi yang tersedia dalam perekonomian dan Sektor Perusahaan merupakan organisasi yang dikembangakan seseorang atau sekumpulan orang dengan tujuan untuk menghasilkan berbagai jenis barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat. Dalam perekonomian subsisten hanya dikenal produksi dan konsumsi Sistem ekonomi subsisten memiliki karakteristik yaitu produksi untuk kebutuhan sendiri atau keluarga. Orientasinya pada kelangsungan hidup. Pada jaman dulu dalam ekonomi subsisten ini belum ada istilah "uang" sebagai alat tukar-menukar. Mereka yang belum tercukupi kebutuhannya bisa tukar menukar barang (barter) dengan tetangga atau kerabatnya. Kemampuan untuk hidup subsisten inilah yang mendorong terbentuknya prinsip hidup “secukupnya, yaitu mengambil kebutuhan-kebutuhan hidupnya sesuai dengan kebutuhannya” – yang tidak perlu harus mengambil berlebih dari yang dibutuhkan (menimbun untuk cadangan karena takut terjadi krisis pangan). (Dwidjono H. D. 2005). Bagaimana perdagangan ekonomi subsisten itu sendiri, seperti dikutip dari Husin S (2012) … bahwa dalam perdagangan ekonomi subsisten dikenal istilah barter yaitu perdagangan secara pertukaran barang dengan barang. Dalam perdagangan seperti itu haruslah wujud keadaan di mana (i) seseorang ingin menukar barang yang dihasilkannya dengan suatu barang lain, dan (ii) seorang lain memproduksi barang yang diingini oleh orang yang pertama. Tentang model ekonomi subsisten itu disebutkan bahwa dikala perdagangan secara barter tidak banyak lagi dilakukan seperti sekarang ini, maka pada kebanyakan perekonomian subsisten, uang telah digunakan sebagai alat perantara tukar menukar. Dengan adanya uang, maka untuk memperoleh suatu barang menjadi lebih sederhana. Mereka hanya perlu menjual hasil produksinya di pasar, dan dengan uang yang diperolehnya tersebut dapat digunakan untuk membeli sesuai keinginan (Husin, S. 2012). 

3. Pemberdayaan Masyarakat Pesisr 
3.1.Pemberdayaan Masyarakat 
Pemberdayaan sebagai proses mengembangkan, memandirikan, menswadayakan, memperkuat posisi tawar menawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan penekan di segala bidang dan sektor kehidupan (Sutoro E, 2002). Konsep pemberdayaan (masyarakat desa) dapat dipahami juga dengan dua cara pandang. Pertama, pemberdayaan dimaknai dalam konteks menempatkan posisi berdiri masyarakat. Posisi masyarakat bukanlah obyek penerima manfaat (beneficiaries) yang tergantung pada pemberian dari pihak luar seperti pemerintah, melainkan dalam posisi sebagai subyek (agen atau partisipan yang bertindak) yang berbuat secara mandiri. Berbuat secara mandiri bukan berarti lepas dari tanggungjawab negara. Permendagri RI Nomor 7 Tahun 2007 tentang Kader Pemberdayaan Masyarakat, dinyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat adalah suatu strategi yang digunakan dalam pembangunan masyarakat sebagai upaya untuk mewujudkan kemampuan dan kemandirian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (Pasal 1 , ayat (8) ). Jadi inti pengertian pemberdayaan masyarakat merupakan strategi untuk mewujudkan kemampuan dan kemandirian masyarakat. Tujuan pemberdayaan masyarakat adalah memampukan dan memandirikan masyarakat terutama dari kemiskinan dan keterbelakangan/ kesenjangan/ ketidakberdayaan. Kemiskinan dapat dilihat dari indikator pemenuhan kebutuhan dasar yang belum mencukupi/ layak (Sunyoto U, 2004). Bagaimana strategi atau kegiatan yang dapat diupayakan untuk mencapai tujuan pemberdayaan masyarakat ?. Ada beberapa strategi yang dapat menjadi pertimbangan untuk dipilih dan kemudian diterapkan dalam pemberdayaan masyarakat. Strategi 1 : Menciptakan iklim, memperkuat daya, dan melindungi. Dalam upaya memberdayakan masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu; pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering). Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Strategi 2 : Program Pembangunan Pedesaan. Pemerintah di Negara-negara berkembang termasuk Indonesia telah mencanangkan berbagai macam program pedesaan, yaitu (1) pembangunan pertanian, (2) Industrialisasi pedesaan, (3) pembangunan masyarakat desa terpadu, dan (4) strategi pusat pertumbuhan (Sunyoto U, 2004). Senada dengan program pembangunan pedesaan, J. Nasikun (dalam Jefta Leibo, 1995), mengajukan strategi yang meliputi : (1) Startegi pembangunan gotong royong, (2) Strategi pembangunan Teknikal – Profesional, (3) Strategi Konflik, (4) Strategi pembelotan kultural.

3.2. Masyarakat Pesisir 
Masyarakan pesisir menurut Koentjaraningrat (1990) dalam Satria A (2002) adalah mereka yang berusaha menjaga keselarasan dengan alam. Contohnya: Sasi di Maluku sebagai salah satu sifat masyarakat pesisir yang hendak selaras dengan alam. Menurut Redfield (2002) dalam Satria A (2002); Masyarakat Pesisir adalah masyarakat yang termasuk dalam tipe representasi tipe komunitas desa petani dan desa terisolasi yang mencirikan suatu kebudayaan (folk). Menurut Kluckhon (2002) dalam Satria A (2002), disebutkan Masyarakat Pesisir adalah Masyarakat yang dicirikan oleh sikap mereka yang tunduk terhadap alam. Sikap tunduk kepada alam dilatarbelakangi oleh pemikiran mereka bahwa alam memiliki kekuatan magis. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa masyarakat pesisir adalah Kelompok orang atau suatu komunitas yang tinggal di daerah pesisir dan sumber kehidupan perekonomiannya bergantung secara langsung pada pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir. Mereka terdiri dari nelayan pemilik, buruh nelayan, pembudidaya ikan dan organisme laut lainnya, pedagang ikan, pengolah ikan, supplier faktor sarana produksi perikanan. Dalam bidang non-perikanan, masyarakat pesisir bisa terdiri dari penjual jasa transportasi dan lain-lain (Koentjaraningrat .1990). Sifat dan karakteristik masyarakat pesisir, sangat dipengaruhi oleh jenis kegiatan seperti usaha perikanan tangkap, usaha perikanan tambak, dan usaha pengelolaan hasil perikanan yang memang dominan dilakukan, sangat di pengaruhi oleh faktor lingkungan, musim dan juga pasar. Struktur masyarakat masih sederhana dan belum banyak dimasuki oleh pihak luar. Hal ini dikarenakan baik budaya, tatanan hidup, dan kegiatan masyarakat relatif homogen dan maasing-masing individu merasa mempunyai kepentingan yang sama dan tanggung jawab dalam melaksanakan dan mengawasi hukum yang sudah disepakati bersama. Sebagian besar masyarakan pesisir bekerja sebagai nelayan (Restu. W, 2012). Tipologi Nelayan adalah; dihadapkan pada situasi ekologis yang sulit dikontrol, karena perikanan tangkap bersifat Open acces maka nelayan juga harus berpindah-pindah dan terdapat elemen resiko yang harus dihadapi lebih besar dari pada yang resiko yang harus dihadapi oleh petani (Pollnack, 1998 dalam Widi Restu 2012). Selain itu nelayan juga harus berhadapan dengan kehidupan laut yang sangat keras. Oleh sebab itu nelayan mesti diberdayakan sehingga dapat survive dalam mempertahankan hidup yang memang umumnya masih berada di bawah taraf kemiskinan.

3.3. Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (PEMP) 
Saat ini banyak program pemberdayaan yang mengklaim sebagai program yang berdasar kepada keinginan dan kebutuhan masyarakat (bottom up), tapi ironisnya masyarakat tetap saja tidak merasa memiliki akan program-program tersebut sehingga tidak aneh banyak program yang hanya seumur masa proyek dan berakhir tanpa dampak berarti bagi kehidupan masyarakat. Memberdayakan masyarakat pesisir berarti menciptakan peluang bagi masyarakat pesisir untuk menentukan kebutuhannya, merencanakan dan melaksanakan kegiatannya, yang akhirnya menciptakan kemandirian permanen dalam kehidupan masyarakat itu sendiri. Memberdayakan masyarakat pesisir tidaklah seperti memberdayakan kelompok-kelompok masyarakat lainnya, karena didalam habitat pesisir terdapat banyak kelompok kehidupan masyarakat diantaranya: a)Masyarakat nelayan tangkap, adalah kelompok masyarakat pesisir yang mata pencaharian utamanya adalah menangkap ikan dilaut. Kelompok ini dibagi lagi dalam dua kelompok besar, yaitu nelayan tangkap modern dan nelayan tangkap tradisional. Keduanya kelompok ini dapat dibedakan dari jenis kapal/peralatan yang digunakan dan jangkauan wilayah tangkapannya. b)Masyarakat nelayan pengumpul/bakul, adalah kelompok masyarakt pesisir yang bekerja disekitar tempat pendaratan dan pelelangan ikan. Mereka akan mengumpulkan ikan-ikan hasil tangkapan baik melalui pelelangan maupun dari sisa ikan yang tidak terlelang yang selanjutnya dijual ke masyarakat sekitarnya atau dibawah ke pasar-pasar lokal. Umumnya yang menjadi pengumpul ini adalah kelompok masyarakat pesisir perempuan. c)Masyarakat nelayan buruh, adalah kelompok masyarakat nelayan yang paling banyak dijumpai dalam kehidupan masyarakat pesisir. Ciri dari mereka dapat terlihat dari kemiskinan yang selalu membelenggu kehidupan mereka, mereka tidak memiliki modal atau peralatan yang memadai untuk usaha produktif. Umumnya mereka bekerja sebagai buruh/anak buah kapal (ABK) pada kapal-kapal juragan dengan penghasilan yang minim. d)Masyarakat nelayan tambak, masyarakat nelayan pengolah, dan kelompok masyarakat nelayan buruh (Syarif. E. 2007). Setiap kelompok masyarakat tersebut haruslah mendapat penanganan dan perlakuan khusus sesuai dengan kelompok, usaha, dan aktivitas ekonomi mereka. Pemberdayaan masyarakat tangkap minsalnya, mereka membutukan sarana penangkapan dan kepastian wilayah tangkap. Berbeda dengan kelompok masyarakat tambak, yang mereka butuhkan adalah modal kerja dan modal investasi, begitu juga untuk kelompok masyarakat pengolah dan buruh. Kebutuhan setiap kelompok yang berbeda tersebut, menunjukkan keanekaragaman pola pemberdayaan yang akan diterapkan untuk setiap kelompok tersebut. Dengan demikian program pemberdayaan untuk masyarakat pesisir haruslah dirancang dengan sedemikian rupa dengan tidak menyamaratakan antara satu kelompk dengan kelompok lainnya apalagi antara satu daerah dengan daerah pesisir lainnya. Pemberdayaan masyarakat pesisir haruslah bersifat bottom up dan open menu, namun yang terpenting adalah pemberdayaan itu sendiri yang harus langsung menyentuh kelompok masyarakat sasaran. Banyak sudah program pemberdayaan yang dilaksanakan pemerintah, salah satunya adalah Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP). Pada intinya program ini dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu: (a)Kelembagaan. Bahwa untuk memperkuat posisi tawar masyarakat, mereka haruslah terhimpun dalam suatu kelembagaan yang kokoh, sehingga segala aspirasi dan tuntutan mereka dapat disalurkan secara baik. (b)Pendampingan. Keberadaan pendamping memang dirasakan sangat dibutuhkan dalam setiap program pemberdayaan. Masyarakat belum dapat berjalan sendiri mungkin karena kekurangtauan, tingkat penguasaan ilmu pengetahuan yang rendah, atau mungkin masih kuatnya tingkat ketergantungan mereka karena belum pulihnya rasa percaya diri mereka akibat paradigma-paradigma pembangunan masa lalu. (c)Dana Usaha Produktif Bergulir. Pada program PEMP juga disediakan dana untuk mengembangkan usaha-usaha produktif yang menjadi pilihan dari masyarakat itu sendiri (Syarif. E. 2007).

III. PEMBAHASAN 
Konsep pemodelan papalele sebagai model budaya ekonomi subsisten dalam pemberdayaan masyarakat pesisir, perlu didahului dengan langkah melakukan identifikasi terhadap potensi yang dimiliki oleh papalele, melakukan SWOT (Strengths, Weakness, Opportunities, Threats) kemudian menentukan strategi pengembangannya. 1. Identifikasi Potensi Khas Papalele Identifikasi terhadap beberapa potensi khas papalele dapat dilakukan dengan cara mengkaji literature, dokumen, tentang kekuatan, kelemahan, peluang, maupun ancaman yang dihadapi papalele, melakukan observasi aktivitas papalele di lapangan, kemudian melakukan wawancara terhadap responden sebagai justifikasinya. Sebagai contoh pada perikanan Purse Seine: nelayan pemilik, nelayan ABK, mandoro, papalele, ketua koperasi nelayan/ UKM, Dinas kelautan dan perikanan, pihak Bank yang mengeluarkan KUR. Identifikasi beberapa potensi khas dalam pengembangan papalele sebagai model ekonomi subsisten dalam pemberdayaan masyarakat pesisir, sebagai berikut: Faktor Internal Kekuatan (Strengths‐S) 1.Maluku sebagai provinsi kepulauan yang sebagian besar penduduknya tinggal di pesisir pulau dengan nelayan sebagai pekerjaannya. 2.Luas laut dengan sumber daya perikanan yang beragam. 3.Dalam realitas ekonomi, mampu menjadi suatu katalisator dalam pembangunan masyarakat untuk mengatasi permasalahan kemiskinan (Kekuatan). 4.Papalele memberikan kontribusi ekonomi bagi pembangunan daerah, tetapi mereka tidak mendapat posisi dalam pembangunan (Kekuatan). 5.Papalele berada dalam pusaran dan gunjangan badai krisis ekonomi, tetapi mereka tetap solid dan survive (Kekuatan). 6.Terindikasi bahwa papalele memperkuat jejaring sosial dan kepercayaan dalam kelompoknya dan dengan luar kelompoknya (Kekuatan). 7.Papalele memainkan peran sebagai agen antar komunitas yang mampu mempertahankan relasi orang basudara (salam-sarani3) dalam proses distribusi kebutuhan (Kekuatan). 8.Papalele tumbuh dan berkembang dalam kondisi social dan budaya kelokalan: Kepercayaan penuh kepada pembeli/pelanggan, Modal sendiri (pinjaman keluarga), Penjual menjumpai pembeli, Kolektif dan solider dalam menentukan harga, Segmentasi pasar diatur bersama, Pemberian kelebihan hasil, Perjanjian jual beli secara informal (Kekuatan). 9.Adanya Sistem Bagi Hasil tangkapan (Kekuatan). Kelemahan (Weakness‐W) 10.Pola hubungan yang bersifat Patron-Klien: maksudnya karena keadaan ekonomi yang buruk, maka para nelayan kecil, buruh nelayan, petani tambak kecil, dan buruh tambak seringkali terpaksa meminjam uang dan barang-barang kebutuhan hidup sehari-hari dari para juragan atau para pedagang pengepul (tauke, tengkulak). Konsekuensinya, para peminjam tersebut menjadi terikat dengan pihak juragan atau pedagang. Keterikatan antara lain berupa keharusan menjual produknya kepada para pedagang atau juragan tersebut. pola hubungan yang tidk simetris ini tentu saja sangat mudah menjadi alat untuk mendominas dan mengeksploitasi (Kelemahan). Faktor Eksternal Peluang (Opportunities‐O) 11.Adanya Undang Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dengan dasar pertimbangan sebagai berikut: Perairan dibawah yurisdiksi dan kedaulatan Indonesia, ZEEI serta laut lepas yang berdasarkan ketentuan Internasional mengandung sumberdaya ikan dan lahan pembudidayaan; dan ini harus dimanfaatkan; Dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional berwawasan nusantara, sumberdaya ikan harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan masyarakat; dan tetap berpegang pada azas kelestarian sumber (Peluang). 12.Departemen kelautan dan perikanan (DKP) sejak tahun 2000 meluncurkan program PEMP. 13.Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP.10/MEN/2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu (Peluang). 14.Hukum Adat: Aturan-aturan yang digunakan umumnya timbul dan berakar dari permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Aturan-aturan dan kebijakan ini kemudian di tetapkan, dikukuhkan dan disepakati bersama oleh masyarakat sebagai suatu undang-undang atau hukum adat. Dalam penerapannya, aturan- atuuran tersebut langsung diaplikasikan oleh masyarakat dan masyarakat juga yang akan melakukan pengawasan dan evaluasinya (Peluang). 15.Motorisasi Perikanan: dimaksudkan bahwa setelah motorisasi perikanan berkembang tidak sedikit dari nelayan yang berubah menjadi post-peasant fisher yang berarti lebih maju daripada peasant fisher. Ciri-cirinya antara lain sudah menggunakan teknologi lebih maju, seperti motor tempel. Seiring dengan pemanfaatan mesin penggerak perahu tersebut semakin membuka peluang bagi nelayan untuk menangkap ikan di wilayah perairan yang jauh lebih luas, bahkan bisa sampai laut lepas (offshore). Tentu saja, daya tangkapnya pun lebih besar sehingga memungkinkan bagi mereka untuk memperoleh surplus dari hasil tangkapan itu (Peluang). 16.Pemodelan aktivitas papalele ke dalam beberapa model atau pola, terkait dengan proses menjual hasil tangkapan. 17.Kampanye budaya makan ikan: ikan dijadikan sebagai sumber protein dalam konsumsi masyarakat secara nasional yang dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan RI (Peluang). 18.Kampanye Maluku sebagai lumbung ikan nasional yang diluncurkan oleh Presiden Susilo Bambang Judhojono belum lama ini. Ancaman (Threats‐T) 19.Pasar bebas yang merambah sampai sector perikanan (Ancaman). 20.Banyak bertumbuhnya lembaga-lembaga finance yang memberikan pinjaman cepat tetapi dengan sistem bunga yang ketat (Ancaman). 2. SWOT Pemodelan Papalele Sebagai Model Budaya Ekonomi Subsisten Dalam Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Setelah aspek‐aspek pemodelan papalele sebagai model budaya ekonomi subsisten dalam pemberdayaan masyarakat pesisir dapat diidentifikasi, maka dilakukan pemberian bobot dan rarting. Bobot dan rating dimaksudkan untuk mengetahui tingkat kepentingan (bobot) dan derajat kuat tidaknya pengaruh (rating) indikator-indikator tersebut terhadap pengembangan kawasan UPT Kabupaten Kepulauan Aru. Untuk memperoleh nilai bobot, tingkat pengaruh dari indikator‐indikator internal dan eksternal diberikan nilai rating dengan skala mulai dari angka 1 (tidak penting), 2 (agak penting), 3 (penting), dan 4 (sangat penting. Nilai negatif(‐) pada rating menunjukkan indikator tersebut merupakan kelemahan atau ancaman. Perhitungan selanjutnya adalah menentukan besarnya pengaruh, bobot, rating dan nilai total untuk tiap indikator strategi internal maupun eksternal. Sebagai contoh (diberikan contoh yang ekstrim .jumlah akhir indikator strategi internal (kekuatan dan kelemahan) pemodelan aktivitas papalele ke dalam beberapa (tiga) model atau pola, terkait dengan proses menjual hasil tangkapan dalam kondisi lemah, sedang nilai total indikator strategi eksternal (peluang dan ancaman) dalam kondisi memiliki peluang, maka dengan demikian kondisi pemodelan aktivitas papalele ke dalam beberapa model atau pola, terkait dengan proses menjual hasil tangkapan berada pada posisi lemah tetapi memiliki peluang yang baik untuk pengembangan ke depan melalui beberapa strategi modeling dengan cara memodifikasi model yang sudah ada serta didukung oleh strategi kebijakan lainnya”. 3. Strategi Pengembangan Berdasarkan hasil pengelompokkan faktor‐faktor strategis baik internal maupun eksternal, maka ada 4 alternatif strategi yang dapat di sarankan melalui matriks SWOT yaitu : •SO strategi (kekuatan‐peluang), yaitu memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut peluang sebesar‐besarnya. •ST strategi (kekuatan‐tantangan), yaitu memanfaatkan seluruh kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman. •WO strategi (kelemahan‐peluang), yaitu meminimalkan kelemahan yang ada untuk memanfaatkan peluang. •WT strategi (kelemahan‐tantangan), yaitu meminimalkan kelemahan yang ada untuk menghindari ancaman. Masing masing strategi ini memiliki karakteristik tersendiri sehingga hendaknya dalam implementasi strategi tersebut dilaksanakan secara bersama dan saling mendukung satu sama lain. Berikut adalah hasil secara umum beberapa alternatif strategi antara lain: 1.Kelembagaan. Bahwa untuk memperkuat posisi tawar masyarakat, mereka haruslah terhimpun dalam suatu kelembagaan yang kokoh, sehingga segala aspirasi dan tuntutan mereka dapat disalurkan secara baik. Kelembagaan ini juga dapat menjadi penghubung (intermediate) antara pemerintah dan swasta. Selain itu kelembagaan ini juga dapat menjadi suatu forum untuk menjamin terjadinya perguliran dana produktif diantara kelompok lainnya. 2.Pendampingan. Keberadaan pendamping memang dirasakan sangat dibutuhkan dalam setiap program pemberdayaan. Masyarakat belum dapat berjalan sendiri mungkin karena kekurangtahuan, Tingkat penguasaan ilmu pengetahuan yang rendah, atau mungkin masih kuatnya tingkat ketergantungan mereka karena belum pulihnya rasa percaya diri mereka akibat paradigma-paradigma pembangunan masa lalu. Terlepas dari itu semua, peran pendamping sangatlah vital terutama mendapingi masyarakat menjalankan aktivitas usahanya. Namun yang terpenting dari pendampingan ini adalah menempatkan orang yang tepat pada kelompok yang tepat pula. 3.Dana Usaha Produktif Bergulir. Pada program PEMP juga disediakan dana untuk mengembangkan usaha-usaha produktif yang menjadi pilihan dari masyarakat itu sendiri. Setelah kelompok pemanfaat dana tersebut berhasil, mereka harus menyisihkan keuntungannya untuk digulirkan kepada kelompok masyarakat lain yang membutuhkannya. Pengaturan pergulirannya akan disepakati di dalam forum atau lembaga yang dibentuk oleh masyarakat sendiri dengan fasilitasi pemerintah setempat dan tenaga pendamping. 4.Melakukan Pemodelan aktivitas papalele ke dalam beberapa model atau pola, terkait dengan proses menjual hasil tangkapan: Pola pertama, : Papalele pola ini, biasanya setiap hari akan berkeliling kota, lingkungan pemukiman, dan perkantoran untuk menjumpai pembeli dan pelanggannya. Transaksi ataupun tidak transaksi, tetapi adalah kewajiban papalele menjumpai konsumen. Pola kedua, : Papalele, yang menggunakan paruh waktu untuk bekeliling kota dan lingkungan pemukiman (biasanya pagi atau sore), kemudian mengambil posisi tetap pada pasar atau lokasi tertentu menunggu pembeli. Pola ketiga, : Papalele yang sejak pagi hingga sore hari tetap menempati lokasi tertentu (pasar, depan perkantoran, depan swalayan dll). Pada waktu pulang, mereka akan menggunakan kesempatan berjalan sambil menjual. Pola keempat: gabungan antara ketiga pola terdahulu yang selama ini sudah ada tetapi dengan sedikit modifikasi. Jika umumnya papalele selama ini memiliki modal usaha dari diri sendiri atau dari pihak keluarga, tetapi jika kepada mereka diberikan pinjaman melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR) maka dapat memberikan “bon” (barang atau dalam hal ini ikan/hasil perikanan dapat diberikan terlebih dahulu dan bayarannya dapat ditagih di awal bulan kemudian) kepada para pelanggannya. Dengan demikian, sebagian dari barang dagangan (ikan) para papalele akan diantarkan ke rumah para pelanggannya setiap hari, dan sebagian lagi akan dijual tunai. Pola ini dipandang sangat efesien sehingga para papalele tidak perlu menunggu waktu lama dalam berjualan, tetapi juga sangat efektif dalam mencegah barang dagangan (ikan) tidak terjual habis atau membusuk. Barang dagangan juga dapat ditukar dengan barang yang dibutuhkan oleh papalele. Barang pengganti kepada papalele tidak selamanya harus barang konsumtif saja, tapi bisa berupa barang untuk memenuhi kebutuhan sekolah anak anak papalele seperti pakaian seragam, alat tulis dan buku. Jika pelanggan berprofesi sebagai guru misalnya, maka bayarannya dapat berupa jasa mengajar (les tambahan). Jika pelanggan berprofesi dalam bidang kesehatan misalnya maka bayarannya dapat berupa jasa pelayanan kesehatan (pemeriksaan, pemberian obat oral, suntik, dan lain sebagainya). 5.Pemberdayaan ekonomi keluarga nelayan dengan program-program produktif menunjang sektor industri perikanan (industri berbasis keluarga dan kearifan lokal). 6.Penataan Kurikulum Sekolah dan PT (Kurikulum berbasis laut-pulau dengan pendekatan karakter/ kearifan lokal) sehingga ekosistem pesisir pulau-pulau kecil dapat dijadikan sebagai Laboratorium alam.

IV. PENUTUP 
A. Kesimpulan 
Berdasarkan permasalahan, tujuan, dan pembahasan maka beberapa kesimpulan yang dapat dibuat sebagai berikut: 1.Teridentifikasi 9 kekuatan papalele yang bertumpu pada papalele tumbuh dan berkembang dalam kondisi social dan budaya kelokalan: Kepercayaan penuh kepada pembeli/pelanggan, Modal sendiri (pinjaman keluarga), Penjual menjumpai pembeli, Kolektif dan solider dalam menentukan harga, Segmentasi pasar diatur bersama, Pemberian kelebihan hasil, Perjanjian jual beli secara informal (Kekuatan). Satu point kelemahan yaitu terdapat Pola hubungan yang bersifat Patron-Klien. Delapan point peluang dengan tumpuan adanya pemodelan aktivitas papalele kedalam beberapa model atau pola, terkait dengan proses menjual hasil tangkapan, serta dua point ancaman yang bertumpu pada .pasar bebas, dan maraknya lembaga-lembaga finance yang memberikan pinjaman cepat tetapi dengan sistem bunga yang ketat. 2.Jika jumlah akhir indikator strategi internal (kekuatan dan kelemahan) pemodelan aktivitas papalele ke dalam beberapa (tiga) model atau pola, terkait dengan proses menjual hasil tangkapan dalam kondisi lemah, sedang nilai total indikator strategi eksternal (peluang dan ancaman) dalam kondisi memiliki peluang, maka dengan demikian kondisi pemodelan aktivitas papalele ke dalam beberapa model atau pola, terkait dengan proses menjual hasil tangkapan berada pada posisi lemah tetapi memiliki peluang yang baik untuk pengembangan ke depan melalui beberapa strategi modeling dengan cara memodifikasi model yang sudah ada serta didukung oleh strategi kebijakan lainnya”. 3.Direkomendasikan adanya Pola keempat model papalele yang merupakan modifikasi gabungan ketiga pola terdahulu yang selama ini sudah ada. 

B. Saran 
Berdasarkan kesimpulan maka beberapa saran yang dapat diajukan sebagai berikut: 1.Dengan telah dilakukannya penulisan makalah Pemodelan Papalele Sebagai Model Budaya Ekonomi Subsisten Dalam Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, maka diharapkan untuk dapat dilakukan penelitian Skripsi dengan pendekatan dan metode yang lebih komprehensif. 2.Perlu dilakukan penataan Kurikulum Sekolah dan PT (Kurikulum berbasis laut-pulau dengan pendekatan karakter/ kearifan lokal) sehingga ekosistem pesisir pulau-pulau kecil dapat dijadikan sebagai Laboratorium alam. 

 DAFTAR PUSTAKA 
Husin, Salman.2012. Metodologi Dan Liputan Analisis Ekonomi Mailoa, 2006 http://indonesiatimur.files.wordpress.com/2008/03/prosiding-diskusi-papalele-march-6-2008.pdf, diunduh 27-08-2013
Maswekan, Max. 2012. Studi Terhadap Perempuan Papalele di Kota Ambon) http://fisipmaxmaswekan.blogspot.com/2012/02/papalele-studi-terhadap-perempuan.html, diunduh 27-08-2013 
Nikijuluw. V.P.H. 2001. Populasi dan Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir serta Strategi Pemberdayaan Mereka Dalam Konteks PengelolaanSumberdaya Pesisir Secara Terpadu, www.academia.edu, Share research
Satria A. 2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Penerbit Cidesindo, Jakarta Souisa, (1999:39) http://indonesiatimur.files.wordpress.com/2008/03/prosiding-diskusi-papalele-march-6-2008.pdf, diunduh 27-08-2013 
Simon Pieter Soegijono. 2008. Papalele; Budaya Ekonomi Lokal, paper, materi presentasi powerpoint dan prosiding diskusi, UKSW, Salatiga 
Syarief E. 1995. Pembangunan Kelautan Dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, Kertas Kerja KPEL. Staf Teknis Perencanaan di Sekretariat Koordinasi Pengembangan Ekonomi Lokal Bappenas http://akuntansibubung.wordpress.com/tag/sistem-ekonomi-pasar/ diunduh 27-08-2013 http://adf.ly, 
Widi Restu. 2012. Karakteristik Masyarakat Pesisir, diunduh 27/08/2013 http://indomaritimeinstitute.org/?p=1943, Laut Pantura Tak Biru Lagi, diunduh 27/08/2013 http://id.scribd.com/doc/82406952/, Kepulauan Maluku, diunduh 27/08/2013 http://id.wikipedia.org/wiki/, Maluku, diunduh 27/08/2013 http://pajsindonesia.wordpress.com, 
Dwidjono H. Darwanto (2005) dalam , Juche (2013), Budaya Kebersamaan (Komunal) Dan Kemandirian (Subsiten) Dalam Keterbatasan Sumberdaya Kehidupan, /2013/08/13/, diunduh 27/08/2013